"Jadi mudik ini adalah tradisi, secara sosiologis ini kebiasaan yang cukup mengikat, tapi tidak juga terlalu memaksa. Jadi, ketika kita tidak melakukannya, mungkin akan muncul cibiran, tapi sebatas itu biasanya sanksi sosialnya. Ini karena, masyarakat kita mempunyai kultur simbolik yang sangat kuat," ungkapnya.
Namun, ketika mudik tidak dilakukan di masa pandemi justru akan memiliki nilai positif karena mendukung kebijakan pemerintah dalam menekan penyebaran COVID-19.
"Jadi, bisa dikatakan pula bahwa nilai dan norma sosial sebetulnya bersifat cair karena bisa menyesuaikan dengan situasi dan kondisi konkret masyarakat," ucap Wahyu.
Setiap elemen masyarakat, lanjutnya, harus sadar kebijakan larangan mudik ini sebetulnya juga untuk kepentingan kita bersama.
Selain sebagai cara mencegah kluster baru, juga dibuat agar dalam pembelajaran di sekolah dan perkuliahan dapat dilakukan secara tatap muka.
"Selama ini, sebagaimana kita tahu, banyak ditemui keluhan terkait sekolah atau kuliah daring. Kebijakan ini diharapkan dapat menurunkan angka kasus COVID-19 di tanah air secara signifikan, jika tidak harapan untuk kembali menggelar sekolah atau kuliah tatap muka di semester depan akan sulit direalisasikan," pungkasnya.***