Shita Dharmasari atau biasa disapa Shita, lahir di Yogyakarta 49 tahun silam. Ia memantapkan hati untuk bergerak di bidang pendidikan mengikuti cita-citanya sejak kecil.
Shita memulainya dengan menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi kesehatan di Kota Bandar Lampung.
Saat itu ia melihat rendahnya literasi dan penguasaan keterampilan abad 21, yaitu komunikasi, kolaborasi, kreatif dan berpikir kritis pada mahasiswanya.
Ia meyakini bahwa kekuatan literasi seharusnya dibangun sejak usia dini sehingga pada tahun 2005 ia memutuskan untuk membuka sekolah Lazuardi Haura Global Compassionate School, Bandar Lampung, dan menjadi guru untuk taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan kemudian sekolah menengah pertama sampai sekarang.
Saat pandemi Covid 19 melanda, semua sekolah harus turut menyesuaikan diri untuk beralih ke pembelajaran online.
Menurut Shita, pembelajaran di TK memiliki tantangan yang paling berat selama pandemi.
Sebagai pendidik ia merasa harus mencari cara agar pada saat usia emas, tumbuh kembang dan sosial emosional anak-anak bisa tetap mendapat stimulasi dengan bermain dan belajar yang menyenangkan juga bermakna meski pembelajaran dilakukan secara daring dengan tetap membuat anak bijaksana dalam menggunakan internet.
Tantangan inilah yang membuat Shita segera membuat pelatihan tentang Google Workspace for Education untuk guru-guru TK dengan mengadopsi model pembelajaran SMP Lazuardi Haura yang telah melakukan blended learning terlebih dahulu jauh sebelum pandemi.
Segera sekolah membuatkan akun bagi semua murid TK dan membuat demo video agar murid dan orang tua di rumah mendapat tutorial tentang bagaimana menggunakan Classroom.
“Kami melakukan pembelajaran sinkron yaitu interaksi pembelajaran guru dan murid yang dilakukan pada waktu yang bersamaan, menggunakan teknologi video conference dengan memanfaatkan Google Meet. Kami juga melakukan pembelajaran asinkron dengan murid, yaitu Guru mempersiapkan materi lebih dulu, antara lain membuat video pembelajaran, referensi bacaan, lembar kerja dengan Google Document, Google Sheet, atau presentasi dengan Google Slide, lalu menyematkannya di Classroom. Kemudian murid dapat mengakses modul-modul belajarnya dari media yang disediakan di Google Classroom. Sehingga interaksi pembelajaran dapat dilakukan secara fleksibel tidak harus dalam waktu yang sama,” ungkap Shita.
Editor: Rama Prasetyo Winoto
Sumber: Lensa Banyumas Google