UU Sistem Peradilan Pidana Anak Sebut LPKA Alternatif Terakhir Pemidanaan, Ini Penjelasan Bapas Purwokerto

- 16 Desember 2021, 20:24 WIB
Marsiti, S.H  PK Muda Balai Pemasyarakatan (Bapas) Purwokerto. / Bapas Purwokerto
Marsiti, S.H PK Muda Balai Pemasyarakatan (Bapas) Purwokerto. / Bapas Purwokerto /

LENSA BANYUMAS - Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Muda pada Kantor Balai Pemasyarakatan (Bapas) kelas II Purwokerto, Marsiti mengatakan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) merupakan alternatif terakhir pemidanaan sebagai amanat dari UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Menurutnya, anak adalah aset bangsa yang tidak ternilai harganya mengingat anak adalah masa depan bangsa sebagai generasi penerus bangsa.

"Namun sayangnya di era globalisasi ini dewasa ini  semakin banyaknya kemajuan teknologi membawa pengaruh terhadap perkembangan mental anak dan perilaku anak baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif," kata Marsiti di Purwokerto, hari Kamis 16 September 2021.

Baca Juga: Diversi Sebagai Alternatif Pemidanaan Bawa Angin Segar Bagi Masa Depan ABH, Ini Penjelasan PK Muda Bapas

Semakin meningkatnya tindak pidana yang dilakukan oleh anak, kata Marsiti, pemerintah tidak akan tinggal diam sehingga dikeluarkanlah UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Lebih lanjut Marsiti menjelaskan, penyelesaian perkara anak dapat melalui diversi dengan ketentuan untuk perkara anak dengan ancaman pidana dibawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

"Hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk antara lain perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian, penyerahan Kembali kepada orang tua atau wali, keikutsertaan dalam Pendidikan atau pelatihan di lembaga Pendidikan atau LPKS paling lama tiga bulan atau pelayanan masyarakat," terangnya.

Kemudian untuk perkara anak dengan ancaman pidana di atas tujuh tahun, kata Marsiti, hanya bisa diselesaikan melalui proses sidang pengadilan pidana pokok bagi anak.

Sidang pengadilan pidana terdiri atas pidana pokok, pidana peringatan, dan pidana dengan syarat yaitu pembinaan di luar Lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan.

"Pelatihan kerja, Pembinaan dalam Lembaga dan Penjara," urai Marsiti.

Kemudian untuk pidana tambahan, kata Marsiti, terdiri atas perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana atau pemenuhan kewajiban adat.

Apabila dalam hukum materil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.

Jika pidana yang dijatuhkan kepada anak dilarang melanggar harkat dan martabat anak.

"Untuk ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk data tata cara pelaksanaan pidana tersebut terdapat pada ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 diatur dengan peraturan pemerintah,"lanjut dia.

Marsiti lebih rinci menyebutkan, pemidanaan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum  dapat dilaksanakan dengan dasar azas bahwa perampasan kemerdekaan dan pemenjaraan sebagai alternatif terakhir dengan kata lain Lembaga Pembinaan Khusus Anak merupakan alternatif terakhir pemidanaan.

"Memenjarakan anak sama artinya menghapus hak anak untuk mendapatakan kehidupan yang layak dan berpengaruh terhadap perkembangan psikologi anak, namun tentunya dengan memperhatikan batasan-batasan yang telah diatur dalam Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)," rincinya.

Dalam perkembangannya di masyarakat, kata Marsiti, pemahaman mengenai proses penyelesaian Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) sangat beragam.

Dia menilai ada sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa anak tidak boleh dipenjara, ada juga sebagian masyarakat yang berpandangan bahwa anak tetap harus dipenjara sebagai akibat dari perbuatannya tanpa memperhatikan dampak negatif dari pemenjaraan.

"Mereka berpandangan setiap perkara anak sanksinya harus dipenjara sebagai akibat dari perbuatannya. Disamping itu antara aparat penegak hukum sendiri juga belum satu pemahaman mengenai pelaksanaan UU SPPA," ujar Marsiti.

Untuk itu, sangat diperlukan adanya sosialisasi terhadap para aparat penegak hukum dan juga masyarakat terkait Undang Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sehingga amanat dari undang-undang tersebut bisa tersampaikan dengan jelas.

Ia juga mengungkapkan, dalam UU SPPA dijelaskan mengenai batasan anak yang dapat di proses hukum yaitu usia 12 sampai 18 tahun.

"Juga dijelaskan batasan anak yang berkonflik dengan hukum yang dapat di tahan sesuai dalam pasal 32 Undang-Undang SPPA, yaitu 'Penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal anak memperoleh jaminan dari orangtua/wali dan/atau lembaga bahwa anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana," jelas Marsiti.

Hal itu menunjukan tidak semua anak yang berkonflik dengan hukum dapat dilakukan penahanan, karena yang dapat dilakukan penahan adalah anak yang telah berumur 14 tahun dan dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih.

Dalam proses persidangan anak berkonflik dengan hukum, kata Marsiti, hakim wajib memperhatikan hasil rekomendasi Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan setempat.

"Hakim menjadikan Litmas sebagai bahan pertimbangan untuk memutuskan perkara anak berkonflik dengan hukum karena dalam Litmas itu sendiri memuat mengenai latar belakang sosial dan ekonomi, sebab-sebab anak melakukan tindak pidana, kondisi keluarga, dan tanggapan berbagai pihak," terang dia.

Hasil Litmas itu sendiri dibacakan dipersidangan setelah pembacaan dakwaan, sesuai dengan pasal 57 ayat 1.

“Setelah surat dakwaan dibacakan, hakim memerintahkan pembimbing kemasyarakatan membacakan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang berkonflik dengan hukum tanpa kehadiran anak, kecuali Hakim berpendapat lain," kata Marsiti melanjutkan.

Disebutkan, UU SPPA sangat jelas menerangkan kedudukan PK dalam proses persidangan sehingga PK mempunyai peranan yang sangat penting.

Pada proses persidangan sendiri, kata Marsiti, PK menempatkan diri pada posisi netral semata-semata hanya mengemban amanat dari isi UU SPPA dimana putusan pidana penjara ditempatkan dalam LPKA adalah alternatif terakhir dalam proses pemidanaan.

Sesuai amanat dari Undang-Undang tersebut, sebisa mungkin hakim hanya memberikan putusan pidana penjara jika hal tersebut satu-satunya jalan supaya seorang anak yang bermasalah dengan hukum dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Disisi lain, kata Marsiti, langkah itu dapat memberikan rasa keadilan bagi korban akibat tindak pidana yang telah dilakukan anak dengan harapan anak berkonflik dengan hukum bisa menyadari kesalahannya, menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan yang melanggar hukum lagi.

Namun demikian alternatif terakhir yang dilakukan hakim tidak mutlak menimbulkan kerugian bagi anak dengan harapan jika anak di tempatkan dalam LPKA, anak berkonflik hukum tersebut tetap dapat melanjutkan pendidikannya melalui program kejar paket dan juga mendapatkan pelatihan keterampilan sebagai modal usaha kedepannya apabila nanti kembali ke masyarakat.

"Jadi pada dasarnya LPKA sebagai alternatif terakhir proses pemidanaan juga memberikan manfaat bagi kepentingan anak dimasa depannya,"tutup Marsiti.***

Editor: Rama Prasetyo Winoto

Sumber: Bapas Kelas II Purwokerto


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x