Dulunya Buah Pala Dibuang, Sekarang Menghasilkan

9 Mei 2021, 23:16 WIB
Daging Buah Pala diolah jadi Sirup Pala, dan Sele Pala. / telusuri.id /

LENSA BANYUMAS - Berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan menyebutkan jumlah hutan di Sumatera Barat seluas 2,3 juta hektare atau sekitar 60 persen dari luas wilayah di Sumatera Barat.

Dengan luas tersebut, Hutan di Sumatera Barat juga memiliki potensi sumber bahan pangan melimpah. 

Ada beragam tanaman dan buah-buahan yang bisa sebagai sumber pangan hewan yang tinggal di dalam hutan dan juga untuk masyarakat lokal guna memenuhi kebutuhan hidup.

Baca Juga: Mengenal Sosok Penjaga Hutan Adat Wonosadi Sri Hartini

Contoh hasil hutan bukan kayu yang bisa digunakan sebagai sumber pangan yakni sereh wangi, madu, pala, bambu, jernang, kopi, pakis, dll.

Nagari Kapujan adalah salah satu Nagari yang ada di Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat.

Nagari ini berada di sekitar kawasan hutan lindung dan mempunyai potensi dari hasil hutannya.

Menurut Tommy Adam dari Walhi Sumbar, salah satu potensi dari hasil hutan bukan kayu di sini yakni buah pala.

"Setidaknya, masing-masing Kepala keluarga di Nagari Kapujan mempunyai satu sampai tiga pohon pala sendiri di pekarangan rumah maupun di hutan," kata Tommy dikutip dari telusuri.id.

Dalam seminggunya masyaraat bisa panen sebanyak 500 kilogram pala, jika dijual harganya sekitar Rp. 17 ribu per kilogram. 

Buah pala dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan rempah masakan.

Namun yang dimanfaatkan oleh masyarakat, kata Tommy, hanya bagian inti (biji) buah saja, sementara daging buah pala dibuang dan bahkan menjadi limbah di sungai.

Dia menjelaskan potensi pala yang besar ini dimanfaatkan oleh WALHI Sumbar dan Y-WRI (Yayasan Women Research Institute) untuk mendorong kemandirian masyarakat khususnya kelompok perempuan untuk dapat memanfaatkan daging buah pala tersebut untuk diolah dan menjadi produk bernilai.

"Tidak hanya itu, pada tahun 2016, WALHI Sumbar dan Y-WRI mendorong pengelolaan hutan berbasis masyarakat," terang Tommy. 

 

Upaya awal yang dilakukan adalah dengan membentuk kelompok perempuan yaitu Kelompok Bayang Bungo Indah.

Kelompok Bayang Bungo Indah sedang memproses pengolahan buah pala. / Tommy Adam / telusuri.id

Kelompok Bayang Bungo Indah merupakan kelompok tani perempuan yang berasal dari Nagari Kapujan.

Kelompok ini difokuskan dalam melakukan usaha pengolahan pala.

"Kebiasaan membuang daging buah pala sekarang sudah mulai ditinggalkan semenjak para anggota kelompok mendapatkan bimbingan melalui program Pengelolaan Hutan Untuk Kesejahteraan Perempuan (PHUKP) yang difasilitasi oleh WALHI dan WRI," sambung Tommy. 

Sejak saat itu, kata Tommy, daging buah pala yang tadinya dibuang-buang, kemudian diolah menjadi sirup pala, minuman sari buah pala, dan selai pala.

Pendapatan anggota kelompok Bayang Bungo Indah pun meningkat.

"Tidak hanya itu, limbah yang berasal dari daging buah pala kini sudah tidak ada lagi," pungkasnya. 

Sirup pala kini menjadi produk unggulan dan juga minuman khas dari Kapujan.

"Sirup pala juga punya beberapa manfaat untuk kesehatan lho, yaitu diantaranya, meningkatkan kesehatan otak karena buah pala mengandung senyawa myristicin dan macelignan," ucap Tommy. 

Senyawa ini dapat mengurangi kerusakan sistem saraf dan fungsi kognitif yang umumnya dimiliki pasien demensia atau penyakit alzheimer. 

Lalu, daging buah pala juga bermanfaat untuk mengatasi masalah pencernaan karena serat yang terdapat pada buah pala dapat merangsang proses pencernaan dengan mendorong gerakan peristaltik pada otot polos usus.

Dan tentunya dapat menghangatkan badan.

"WALHI Sumbar dan Y-WRI juga melakukan pelatihan cara pengemasan dan memasarkan produk pala," imbuhnya. 

Kegiatan ini mendapat respon positif dari pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pesisir Selatan.

Bahkan beberapa kali sirup pala menjadi juara lomba Produk UMKM dan menjadi welcome drink untuk salah satu hotel ternama di Kota Padang yaitu Hotel Bumi Minang.

"Dari hasil kerjasama ini, setidaknya kelompok itu mendapatkan keuntungan sebesar Rp 2,5 juta tiap bulannya," ungkap Tommy. 

Hutan menyediakan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang sangat melimpah.

Tentunya, dengan pengelolaan dan pemanfaatan HHBK yang baik dapat membantu meningkatkan ekonomi masyarakat di sekitar hutan tanpa harus merusak ekologi hutan.

"Dengan begitu masyarakat mendapat manfaat dari HHBK yang diolah dan mendapatkan manfaat jasa ekosistem dari hutan yang dipertahankan," tutupnya.***

Editor: Rama Prasetyo Winoto

Sumber: telusuri.id

Tags

Terkini

Terpopuler