4 Fakta Sejarah dan Budaya Dalam Kuliner Gorontalo, Ini Penjelasan Antropolog Makanan Unpad dan Pelaku UMKM

17 Desember 2021, 09:39 WIB
Nasi Kuning, Tili’aya, telur rebus, dan pisang yang dibagikan kepada petani dan tetangga sekitar saat menghambur benih padi. / Foto_ Zahra Khan (@bakulgoronto) /

LENSA BANYUMAS - Kuliner daerah memang selalu menarik untuk diulik, termasuk kuliner Gorontalo yang belum terlalu luas dikenal.

Padahal, Gorontalo punya kekayaan kuliner yang menakjubkan, dan sudah menjadi bagian dari budaya warga Gorontalo.

Menurut Food anthropologist dan peserta MasterChef Indonesia Musim 8, Seto Nurseto,  makanan terkait erat dengan siklus kehidupan manusia.

Karena itu, ia meyakini, ada makanan Gorontalo yang terkait kelahiran, pernikahan dan kematian.

Baca Juga: Kunjungan Wisata dan Okupansi Hotel di Yogyakarta Menggeliat, Ini Kata Sandiaga

“Salah satunya, Tili’aya, yang menjadi syarat dalam acara syukuran adat,” kata Seto, hari Jumat 17 Desember 2021.

Nasi kuning memang, kata Seto disajikan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan.

“Nasi kuning dibentuk segitiga karena menyimbolkan gunung emas yang melambangkan gunung kemakmuran. Dulu, nasi kuning berfungsi sebagai sesaji, sebelum orang masuk ke hutan. Namun, ketika Islam masuk, sesaji perlahan ditinggalkan,"ujar dia.

Sedangkan pelaku UMKM Bakul Goronto yang berdarah Gorontalo Zahra Khan mengungkapkan, di setiap perayaan kelahiran, kematian, dan doa-doa syukur, nasi kuning dan Tili’aya selalu disajikan.

Alopa, olahan singkong parut yang dicampur kelapa cukur, lalu dikukus dan dimakan dengan ikan bakar dan dabu-dabu. / Foto_Zahra Khan (@bakulgoronto)

Tili’aya, kata Zahra, merupakan makanan manis serupa Srikoyo dari Padang.

Dia menyebutkan, ada sejumlah makanan khas Gorontalo yang kini mulai sulit ditemukan, salah satunya adalah Milu Siram Pulo atau Binde Biluhuta yang menggunakan bahan dasar jagung pulut (binde pulu).

Jagung jenis ini sulit didapatkan, karena banyak petani lebih suka menanam jagung kuning hibrida.

Menurutnya, jagung pulut hanya bisa didapatkan di desa-desa tertentu saja.

Karena itu, ia senang sekali ketika Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) bekerja sama dengan sejumlah restoran untuk mengangkat Milu Siram Pulo.

Kabupaten Gorontalo menjadi salah satu anggota asosiasi pemerintah kabupaten LTKL, sehingga asosiasi ini membantu kabupaten anggotanya untuk melakukan kampanye terkait bahan pangan lokal.

Milu Siram Pulo sendiri merupakan makanan yang masih sangat mungkin dihidupkan, karena jagung putih masih ada, belum punah.

”Yang harus diperhatikan adalah mencari cara meningkatkan semangat petani untuk tanam jagung putih dan jagung kuning lokal Gorontalo. Selama ini ketergantungan terhadap jagung hibrida terbilang tinggi. Para petani perlu didorong untuk menanam varietas lokal,” kata Zahra, yang mendalami ilmu pangan.

Sementara itu, Seto mengamati pentingnya promosi yang terus-menerus, karena cara itu yang paling efektif.

"Melelalui acara televisi, bisa menjangkau banyak kalangan. Misalnya, program kuliner yang diselipkan di berbagai acara utama. Di samping itu, makanan khas Gorontalo yang kering dan tahan lama bisa lebih banyak dipromosikan di kota besar di luar Gorontalo," jelas Seto.

Seperti apa profil kuliner Gorontalo? Yuk, kita telusuri jejak sejarah dan budaya yang terkait kuliner Gorontalo.

1. Pengaruh Arab yang kuat

Seto, yang juga merupakan dosen antropologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Padjadjaran Bandung menjelaskan kuliner Gorontalo memiliki sejarah panjang.

Ketika bangsa Arab, Cina, dan Belanda datang, berbagai sisi kebudayaan etnis Gorontalo terpengaruh, termasuk budaya kulinernya.

“Pengaruh Islam dalam kuliner Gorontalo sangat kuat. Yang menarik, kuliner menjadi identitas pembeda antara Gorontalo dan etnis lain yang menjadi tetangganya, misalnya Minahasa. Karena kepercayaan yang berbeda, bahan pangan yang digunakan jadi berbeda. Jika etnis Minahasa mengonsumsi daging babi, etnis Gorontalo mengonsumsi daging sapi,"terang dia.

Zahra menambahkan, masyarakat belum memeluk agama apa pun, sebelum Islam masuk ke tanah ini.

Penduduknya masih memeluk kepercayaan. Hingga kemudian bangsa Arab datang dan menyebarkan agama Islam.

Saat itulah kuliner Gorontalo juga banyak terpengaruh. Pada dasarnya, kuliner Gorontalo terbilang minim bumbu.

Ketika memasak ikan bakar, misalnya, ada yang tidak memberi bumbu sama sekali, ada juga yang hanya memberi bumbu minimalis, seperti perasan jeruk nipis dan garam.

“Sementara itu, makanan Arab menggunakan banyak sekali rempah aromatik, seperti kayu manis, jinten, dan ketumbar. Sejak masuknya Islam lewat bangsa Arab, banyak masakan Gorontalo yang kemudian juga menggunakan rempah dengan aroma yang kuat. Misalnya, Ayam Bakar Iloni (bumbu rempah), Kambing Bakar Balanga, dan Kuah Tabu Moitomo (sebutan lain Kuah Bugis). Ini juga menunjukkan bahwa makanan Gorontalo juga dipengaruhi daerah tetangga yang lebih dulu kedatangan bangsa Arab, seperti Bugis,"imbuh Zahra.

2. Kuliner Gorontalo di perayaan agama

Zahra menceritakan karena pengaruh Arab, maka sejumlah peringatan keagamaan pun dihiasi oleh makanan Gorontalo.

Misalnya, 12 Rabiul Awal, yang menjadi hari lahir Rasulullah, disimbolkan dengan pangan. Orang Gorontalo mensyukuri kelahiran Rasulullah dengan melakukan sedekah bumi berdasarkan hasil bumi yang dimiliki.

“Yang wajib ada adalah satu ekor ayam utuh, serta nasi kuning, putih, dan merah. Nasi putihnya pun bukan nasi putih biasa, melainkan Bilindi. Bilindi merupakan nasi yang dimasak dengan santan dan bumbu rempah, seperti pala dan cengkeh. Semacam kebuli tapi warnanya tidak terlalu cokelat. Nasinya dilengkapi dengan hati dan ampela ayam, serta suwiran ayam kampung,"jelasnya.

Sepanjang bulan Ramadan pun Tili’aya disajikan, terutama di keluarga yang masih memegang tradisi.

Biasanya Tili’aya disuguhkan saat sahur atau sesudah tarawih.

Karena terbuat dari telur bebek, gula merah, dan santan, maka Tili’aya dinilai mengandung protein yang tinggi dan berfungsi sebagai suplemen alami.

Apalagi, proses pembuatannya sederhana dan cepat, tidak memerlukan proses panjang, sehingga zat gizinya utuh.

"Karena itu, tepat disantap oleh orang yang berpuasa," ucap Zahra.

3. Simbol perdamaian dua kerajaan

Terkait sejarah yang berhubungan dengan keberadaan kerajaan, Gorontalo masih memiliki makanan yang menjadi makanan tertua di daerah tersebut, yaitu Ilabulo. Makanan ini menjadi simbol perdamaian di antara raja-raja yang sedang bertikai.

Zahra bercerita, zaman dulu terjadi perang antara Kerajaan Limutu dan Kerajaan Holunthalangi. Ceritanya, mereka kemudian bersepakat untuk berdamai dan mengakhiri pertikaian dengan cara menyatukan cincin keduanya, kemudian cincin itu dibuang di Danau Limboto. Karena itu, tugas orang yang berdarah Gorontalo adalah menjaga agar danau tersebut tidak kering. Sebab, ketika kering, cincin jadi terlihat dan perang bisa kembali tersulut.

Ilabulo dibuat dari sagu dan kulit ayam yang dicampurkan, dibungkus daun pisang, lalu dikukus atau dibakar. Makanan sederhana tersebut sampai sekarang masih mudah ditemukan di berbagai acara maupun sebagai jajanan sehari-hari. Seiring perkembangan zaman, oleh warga Gorontalo makanan ini disimbolkan sebagai syukuran setelah khitanan.

“Setelah dikhitan anak biasanya kehabisan energi karena menangis. Untuk mengembalikan energinya, ia diberi makanan yang enak, sehat, dan mudah disantap. Ilabulo bernilai gizi tinggi karena diisi dengan ayam kampung, dan biasanya disajikan dengan Kuah Asam Ikan Gabus. Selain itu, sajian ini juga membantu pemulihan ibu yang melahirkan secara alami,” kata Zahra.

4. Ada makanan yang nyaris langka

Rupanya, ada sejumlah makanan khas Gorontalo yang mulai menghilang.

Zahra kembali bercerita, sebelum bisa mengakses beras, warga Gorontalo mengonsumsi singkong yang diparut atau sagu yang santap dengan kelapa cukur.

“Ibu saya menyebutnya Alopa. Singkong atau sagu diberi bumbu bawang putih dan jahe, lalu dikukus. Makanan ini disantap bersama ikan bakar dan dabu-dabu. Tapi, makanan ini sudah tidak ada lagi," ungkap dia.

Ada lagi makanan yang nyaris langka, yaitu Bode’o yaitu semacam sambal, serundeng, atau abon, tapi berbeda.

Bode’o terbuat dari kelapa cukur yang disangrai, lalu ditumbuk halus, serta diberi bumbu, seperti jinten, ketumbar, jahe, kunyit, lengkuas, dan sereh.

Biasanya makanan ini dibawakan untuk anak dari desa yang merantau untuk sekolah di kota.

Bode’o umumnya disantap bersama nasi atau singkong.

Zahra menyebutkan, makanan yang sudah benar-benar hilang adalah nasi jagung, yang 100 persen terbuat dari jagung putih dan jagung kuning varietas lokal.

Makanan ini disebut Alimbuluto. Nasinya berwarna kuning dengan tekstur lembek.

Dua jenis jagung yang sudah dipecahkan dimasak dengan santan. Nasi jagung ini dulu disantap sebagai makanan pokok, karena beras terbilang mahal.

“Generasi sekarang mungkin sudah tidak pernah dengar Alimbuluto. Makanan ini hilang karena pola makan berganti dengan makan nasi beras. Padahal, tubuh kita kan tidak mengenal nasi beras. Yang dikenal tubuh adalah zat gizi. Tapi, mata kita terlatih untuk menilai berdasarkan penampilan. Beras cokelat tumbuk tidak lagi dilihat, karena orang lebih pilih beras berwarna putih,” ucap Zahra.***

Editor: Rama Prasetyo Winoto

Sumber: Lensa Banyumas Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL)

Tags

Terkini

Terpopuler