10 Pembatal Puasa Klasik dan Kontemporer. Muslim Harus Tahu

- 19 April 2021, 03:00 WIB
Ilustrasi pembatal puasa
Ilustrasi pembatal puasa /Pixabay /mohamed_hassan

 

LENSA BANYUMAS - Puasa Ramadan wajib hukumnya untuk umat Islam yang mukallaf. Kewajiban puasa tercantum dalam Surah al-Baqarah:183,

 

 "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

 

Ibadah puasa termasuk dalam lima rukun Islam. Dalam hadis riwayat muslim, disebutkan dari Abdullah, Nabi Muhammad saw. bersabda,

 

 "Islam dibangun di atas lima dasar, yakni bersaksi bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, mengerjakan haji, dan berpuasa pada bulan Ramadan."

Baca Juga: Ucapan MasyaAllah Tabarakallah dan Jawabannya. Umat Islam Wajib Tahu.

Secara istilah puasa bermakna menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkan sejak terbit fajar (waktu subuh) hingga terbenamnya matahari (waktu magrib) dengan niat karena Allah. 

 

Namun ada beberapa perkara atau hal hal yang dapat membatalkan puasa Ramadan. Apa saja perkara tersebut ? Berikut ringkasan pembatal puasa secara klasik dan kontemporer :

 

1. Makan dan minum disengaja

 

Hal ini merupakan pembatal puasa berdasarkan kesepakatan para ulama. Makan dan minum yang dimaksudkan adalah dengan memasukkan apa saja ke dalam tubuh melalui mulut, baik yang dimasukkan adalah sesuatu yang bermanfaat (seperti roti dan makanan lainnya), sesuatu yang membahayakan atau diharamkan (seperti khomr dan rokok), atau sesuatu yang tidak ada nilai manfaat atau bahaya (seperti potongan kayu). Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

 

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

 

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).

Baca Juga: Telat Qadha Puasa Ramadhan? Begini Cara Membayarnya.

Jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah batal. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

إِذَا نَسِىَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ

 

“Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan minum.”

 

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

 

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

 

“Sesungguhnya Allah menghilangkan dari umatku dosa karena keliru, lupa, atau dipaksa.”

Baca Juga: Hutang Puasa Ramadhan Wajib Dibayar. Kapan Waktunya?

Yang juga termasuk makan dan minum adalah injeksi makanan melalui infus. Jika seseorang diinfus dalam keadaan puasa, batallah puasanya karena injeksi semacam ini dihukumi sama dengan makan dan minum.

 

Siapa saja yang batal puasanya karena makan dan minum dengan sengaja, maka ia punya kewajiban mengqodho’ puasanya, tanpa ada kafaroh. Inilah pendapat mayoritas ulama.

 

2. Jima’

 

Menurut mayoritas ulama, jima’ (hubungan badan dengan bertemunya dua kemaluan dan tenggelamnya ujung kemaluan di kemaluan atau dubur) bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja dan atas kehendak sendiri (bukan paksaan), mengakibatkan puasanya batal, wajib menunaikan qodho’, ditambah dengan menunaikan kafaroh. Terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak. 

 

Wanita yang diajak hubungan jima’ oleh pasangannya (tanpa dipaksa), puasanya pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini. Namun yang nanti jadi perbedaan antara laki-laki dan perempuan apakah keduanya sama-sama dikenai kafaroh.

 

Pendapat yang tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, bahwa wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak punya kewajiban kafaroh, yang menanggung kafaroh adalah si pria.

 

 Alasannya, dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintah wanita yang bersetubuh di siang hari untuk membayar kafaroh sebagaimana suaminya. 

 

Hal ini menunjukkan bahwa seandainya wanita memiliki kewajiban kafaroh, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu akan mewajibkannya dan tidak mendiamkannya. Selain itu, kafaroh adalah hak harta. Oleh karena itu, kafaroh dibebankan pada laki-laki sebagaimana mahar.

 

Kafaroh yang harus dikeluarkan adalah dengan urutan sebagai berikut.

 

a) Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat.

 

b) Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.

 

c) Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin. Setiap orang miskin mendapatkan satu mud makanan.

 

Jika orang yang melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan tidak mampu melaksanakan kafaroh di atas, kafaroh tersebut tidaklah gugur, namun tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang-piutang dan hak-hak yang lain. Demikian keterangan dari An Nawawi rahimahullah.

 

3. Muntah disengaja

 

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

 

“Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qodho’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qodho’.”

 

4. Haid dan nifas

 

Apabila seorang wanita mengalami haidh atau nifas di tengah-tengah berpuasa baik di awal atau akhir hari puasa, puasanya batal. 

 

Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Keluarnya darah haidh dan nifas membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para ulama.”

 

Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ » . قُلْنَ بَلَى . قَالَ « فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا »

 

“Bukankah kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita.”

 

Jika wanita haidh dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqodho’ puasanya di hari lainnya. Berdasarkan perkataan ‘Aisyah, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.”

 

 Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas wajib mengqodho’ puasanya ketika ia suci.

 

5. Keluarnya mani dengan sengaja.

 

Artinya mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja tanpa hubungan jima’ seperti mengeluarkan mani dengan tangan, dengan cara menggesek-gesek kemaluannya pada perut atau paha, dengan cara disentuh atau dicium. Hal ini menyebabkan puasanya batal dan wajib mengqodho’, tanpa menunaikan kafaroh. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Dalil hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

 

يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى

 

“(Allah Ta’ala berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan makan, minum dan syahwat karena-Ku”.

 

Mengeluarkan mani dengan sengaja termasuk syahwat, sehingga termasuk pembatal puasa sebagaimana makan dan minum.

 

Jika seseorang mencium istri dan keluar mani, puasanya batal. Namun jika tidak keluar mani, puasanya tidak batal. Adapun jika sekali memandang istri, lalu keluar mani, puasanya tidak batal. Sedangkan jika sampai berulang kali memandangnya lalu keluar mani, maka puasanya batal.

 

Lalu bagaimana jika sekedar membayangkan atau berkhayal (berfantasi) lalu keluar mani? Jawabnya, puasanya tidak batal.

 

 Alasannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا ، مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ

 

“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku apa yang terbayang dalam hati mereka, selama tidak melakukan atau pun mengungkapnya”

 

6. Menelan sisa makanan di gigi

 

Mayoritas ulama berpendapat bahwa hal ini jika dilakukan dengan sengaja maka membatalkan puasa. Akan tetapi jika sisa makanan itu tertelan tanpa sengaja karena terbawa 

ludah, maka hal ini tidak membatalkan puasa.

 

7. Menelan darah gusi disengaja

 

Jika gusi berdarah dan ada sebagian darah tertelan tanpa sengaja, maka hal ini dimaafkan karena termasuk hal yang 

sulit dihindari. 

 

Namun jika sengaja menelannya, maka hal ini membatalkan puasa, meskipun kadarnya sangat sedikit. Hal ini difatwakan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad Shalih Al-'Utsaimin. 

 

8. Menggunakan tetes hidung

 

Para ulama dari empat madzhab berpendapat bahwa sesuatu yang dimasukkan melalui hidung jika sampai ke tenggorokan maka hal ini membatalkan puasa. 

 

Maka dari itu, 

pendapat yang lebih hati-hati dalam hukum penggunaan obat tetes hidung adalah membatalkan puasa. 

 

9. Merokok 

 

Dinukilkan bahwa ahli fiqih kontemporer telah bersepakat tentang batalnya puasa 

disebabkan karena rokok. Hal ini karena merokok adalah memasukkan zat yang memiliki 

fisik ke dalam tubuh secara sengaja. Maka hal ini semakna dengan makan dan minum.

 

10. Menggunakan obat sembelit di dubur

 

Mayoritas ulama dari madzhab Hanafi, Syafi'i, dan Hambali, memandang obat semacam ini membatalkan puasa.

 

Hal ini karena dubur adalah celah terbuka yang terhubung dengan 

bagian dalam tubuh. Dengan demikian, memasukkan obat ke dalam tubuh melalui celah tersebut disamakan dengan memasukkan makanan ke dalam tubuh.

 

Itulah tadi hal-hal yang membatalkan puasa Ramadan. Setelah kita mengetahui semua hal tersebut, semoga kita bisa dihindari dari hal-hal yang membatalkan puasa dan puasa kita bisa lebih lancar.***

 

Editor: Rare

Sumber: Lensa Banyumas


Tags

Artikel Pilihan

Terkini