Noken Bukti Manfaat Keanekaragaman Hayati Bagi Peningkatan Ekonomi

22 Mei 2021, 11:37 WIB
Noken merupakan tas anyaman dan rajutan dari tumbuhan serat merupakan salah satu bukti Keanekaragaman Hayati./ wanaswara.com /

LENSA BANYUMAS - Seringkali kita memandang keanekaragaman hayati hanya sebatas keragaman spesies tumbuhan dan satwa yang hidup di Bumi ini, namun ternyata keanekaragaman hayati lebih dari itu.

Berdasarkan Convention on Biological Diversity, keanekaragaman hayati adalah keragaman seluruh organisme hidup yang ada di Bumi, baik di darat maupun di perairan, serta seluruh kompleksitasnya, di mana terbagi menjadi tiga tingkat, yakni keragaman ekosistem, keragaman spesies, hingga keragaman genetik.

Selain keberagaman pada tingkat ekosistem dan spesies yang penting guna menjaga keseimbangan rantai kehidupan di Bumi, pada tingkat genetik, keberagaman diperlukan guna menjaga kualitas generasi setiap individu dan memastikan keberlanjutan generasi mendatang.

Baca Juga: Cek Saldo dan Tarik Tunai Bank Mandiri, BRI, BNI dan BTN di ATM Link Kena Biaya

Dalam kehidupan manusia sendiri, selain berperan dalam konteks biologis, keragaman genetik juga berperan besar terhadap keberadaan berbagai etnis dan suku bangsa yang ada, serta tumbuhnya keragaman budaya.

Kekayaan budaya hingga berbagai produk dan karya yang lahir dari budaya kita yang kaya, sangatlah erat hubungannya dengan keanekaragaman hayati pada tingkat genetik.

Salah satu contoh kecil yang mencerminkan hal tersebut adalah adanya keragaman noken di beberapa wilayah di Papua.

Noken merupakan tas anyaman dan rajutan dari tumbuhan serat telah ditetapkan oleh UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization) sebagai salah satu warisan dunia sejak 2014 silam. 

Penetapan ini memberikan kebanggaan tersendiri terhadap pengakuan identitas budaya orang Papua sekaligus tanggung jawab untuk mempertahankan keberadaannya. 

Sebagai kerajinan tangan, noken di Papua identik dengan perempuan.

Dari tangan merekalah serat tumbuhan tersebut diolah dan dijalin dalam anyaman atau rajutan.

Biasanya noken dipakai sebagai wadah hasil kebun pasca panen, ditandai dengan ukurannya yang besar.

Sementara ukuran kecil digunakan sebagai wadah pinang dan sirih.

Penyebutan noken sendiri berbeda-beda hampir di setiap suku atau kelompok masyarakat di Papua.

Demikian juga bahan baku tumbuhan serat, pewarna bahkan proses pembuatannya bisa juga berbeda.

Misalnya saja, di beberapa kampung dampingan Yayasan WWF Indonesia di kabupaten Jayapura.

Jarak antara kampung Rhepang Muaif dan Kampung Sawesuma tidaklah jauh, sekitar 1,5 sampai 2 jam menggunakan kendaraan roda empat.

Tetapi penyebutan noken di kedua kampung tersebut berbeda.

Bukan itu saja, bahan baku, proses pembuatan dan hasil akhirnya pun memiliki perbedaan.

Demikian halnya noken di Kampung Resye dan Womom di Kabupaten Tambrauw di wilayah kepala burung, Provinsi Papua Barat.

Selain bahan bakunya noken di kedua kampung tersebut dianyam, bukan dirajut.

Lain lagi di Asmat, Kabupaten yang terkenal akan masyarakatnya yang memiliki tangan terampil dalam kerajinan. 

Di Rhepang Muaif, noken tersebut dikenal dengan nama Kbo.

Proses pembuatan ya benar-benar alami dan dibuat dengan tangan-tangan terampil para perempuan suku Namblong. 

Mereka mengambil sendiri bahan baku di hutan. Jenis yang dipakai adalah tumbuhan Trichospermum pleiostigma atau yang dalam bahasa lokal disebut Swei.

Pohon yang dipilih adalah yang berdiameter tidak lebih dari 10 cm.

Pohon biasanya ditebang unutk memudahkan proses pengelupasan kulit.

Pohon tersebut letersediaanya cukup banyak. Bibitnya kerap tumbuh secara alami pada lahan kebun sehingga mereka tidak perlu jauh-jauh masuk ke hutan mencari bahan baku.

Setelah dikuliti, kulit bagian dalam kemudian direndam di air yang mengelir utnuk kemudian dibersihkan dari getah dan cambium yang menempel. Sesudahnya, serat kemudian dijemur hingga tingkat kekeringan cukup untuk diurai menjadi benang.

Serat-serat tersebut kemudian dipilin menjadi seperti tali yang kemudian siap untuk dirajut.  

Variasi warna juga digunakan pada bahan dasar pembuatan kbo dengan menggunakan bahan alami yang di dapat di hutan seperti buah kesumba untuk pewarna merah, kunyit untuk pewarna kuning dan daun jati untuk warna coklat. 

Pembuatan Kbo di Rhepang Muaif biasanya diwariskan dari ibu kepada anak perempuannya.

Sayangnya proses yang tidak praktis, kehadiran tas rajutan dari benang pabrikan dengan warna-warni membuat para anak muda mulai enggan untuk belajar merajut dari bahan alami.

Perempuan Papua sedang membuat Noken. / wanaswara.com

“Model kbo kami begitu-begitu saja, warnanya juga, tapi kami membuatnya dari hati,” kata Yau Magda, perempuan berusia sekitar 70-an tahun.

Menurut Yau Magda, mereka tahu betul bahan baku yang mereka pakai aman karena dari bahan alami, juga kuat tak lekang dimakan waktu.

Melalui sekolah alam di Lokasi ekowisata Isyo Hills, kampung Rhepang Muaif, pembuatan Kbo kembali digalakkan.

Pengajarnya adalah para tetua dan siswanya terdiri dari remaja putri, dan anak-anak.  

Sementara itu, masyarakat Kampung Sawesuma, distrik Unurum Guay, yang mayoritas didiami oleh suku Orya menyebut noken dengan hon.

Bahan baku hon berasal dari serat tumbuhan Phaleria capitata.

Tidak seperti di Rhepang Muaif, lokasi bahan baku berada jauh di hutan.

Menurut para lelaki di kampung Sawesuma yang kerap mengumpulkan bahan baku, penyebabnya karena kebiasaan mereka yang kerap menguliti kulit pohon hingga habis yang menyebabkan pohon lekas mati atau menebangnya untuk pohon yang cukup besar.

Sementara butuh waktu tahunan menunggu pohon tersebut tumbuh.

“Awalnya kami yang pergi mencari bahan hon di hutan, tapi makin lama makin jauh, jadi biar Bapa-bapa saja yang cari”, Kata mama Balbarina, perempuan paruh bawa yang aktif merajut hon

Proses pembuatan hon tidak melalui proses perendaman.

Kulit dalam pohon langsung dijemur, diurai, dipilin kemudian siap dirajut.

Pewarnaan alami yang digunakan masih terbatas, dari bebijian untuk warna ungu. 

Keterbatasan bahan baku memacu kelompok perempuan adat kampung Sawesuma untuk melihat potensi tumbuhan lain sebagai kerajinan.

Kerajinan piring dan pot bunga dari tali rotan.

“Tidak ada nama lokal untuk kerajinan ini, nenek moyang hanya pakai tali untuk mengikat, kami sekarang coba bikin piring dan pot bunga,” terang Siphora, mama muda yang mahir dan terampil membuat piring tali rotan.

Menurut mama Novita Aru, Ketua kelompok perempuan adat kampung Sawesuma, karena keterbatasan bahan baku hon, kelompoknya berinisiatif untuk memulai menanam bibit pohon hon di pekarangan rumah.

Sembari itu untuk tetap menggiatkan kegiatan kelompok dalam menambah penghasilan keluarga, mereka berupaya menggali lebih banyak lagi potensi keanekaragaman hayati yang mereka punya.

“Saat ini ada tali rotan, rotan dan beberapa jenis kayu kami sedang uji coba untuk jadi kerajinan tangan yang bisa dijual,” kata Novita. 

Di wilayah selatan Papua, tepatnya di Kabupaten Asmat, juga terdapat rajutan noken yang khas.

Suku Asmat memang dikenal dengan jiwa seni dan tangan yang terampil.  yang ukirannya sudah terkenal di seantero dunia.

Noken di Asmat menghadirkan rajutan serat dengan warna khas dominan coklat, rekatif kaku dan motif rajutan yang rapat.

Hiasan lain juga dipakai untuk mempercantik noken seperti biji-bijian dan bulu burung kasuari. Selain noken, terdapat juga kerajinan tikar.

Selain sebagai alas tidur, tikar juga digunakan sebagai payung kala hujan. 

Tikar dibuat dari jalinan daun pandan hutan.

Menariknya, jika di beberapa lokasi di Papua kerajinan Sebagian besar dilakukan oleh kaum perempuan, di Asmat kaum lelaki lebih banyak berperan.

Suku Asmat memanfaatkan bahan baku dari alam untuk dijadikan kerajinan tangan.

Warna-warna yang digunakan juga masih menggunakan warna-warna alami.

Di Asmat terdapat sekolah satu atap, dimana para siswa tergabung dalam sanggar seni untuk membuat beraneka kerajinan tangan.

Sekolah ini dikelola oleh Yayasan Alfonsuada, sebuah Yayasan yang dibentuk oleh keuskupan Asmat untuk kegiatan kemanusiaan, pendidikan, keagamaan, Kesehatan serta isu penting lain, salah satunya lingkungan.

Ke depan inisiatif kolaborasi tengah dilakukan Yayasan WWF Indonesia bersama Yayasan Alfonsuada untuk kesetaraan gender, pendidikan lingkungan dan HAKI, Registrasi wilayah adat serta penguatan pangan lokal.

Beralih ke wilayah kepala burung, Provinsi Papua Barat.

Noken anyaman khas Tambrauw dari kampung Resye dan Womom ini memliki cerita tersendiri.

Hanya ada empat orang perempuan yang sudah berusia lanjut yang dapat menganyam noken. Ya, noken di kampung ini dianyam.

“Saya sudah tua, mo pergi ambil bahan noken di hutan sudah tidak sanggup, lutut sudah sakit-sakit, jadi kalau ada bahan baru saya anyam”. kata mama Desa.

“Kalau kami empat orang ini sudah mati, tidak ada lagi noken dari kampung sini”, lanjutnya.

Walau sambil menganyam, rona sedih diwajahnya tidak dapat disembunyikan.

Miris memang ketiga produk lokal dan alami harus bersaing dengan produk hasil produksi masal.

Belum lagi permintaan pasar yang terus menerus mengalami penurunan.

Seakan tidak ada lagi ruang bagi para peremuan paruh baya tersebut untuk tetap produktif.

Saat ini, Yayasan WWF Indonesia tengah mendampingi masyarakat di kedua kampung tersebut melalui skema kampung hijau.

Terdapat Badan Usaha Milik Kampung yang nantinya menjadi pusat pengelolaan sumber daya alam yang Lestari.

Inisatif sekolah lapang utnuk edukasi dan pengawetan kearaifan lokal juga tengah berjalan.

Harapannya, kearifan lokal, identitas budaya masyarakat tidak terputus.

Masyarakat juga dapat memanfaatkan sumber daya alam dengan bertanggung jawab dan berkelanjutan.***

Editor: Rama Prasetyo Winoto

Sumber: wanaswara.com

Tags

Terkini

Terpopuler