Tak mengherankan, jika manfaatnya bagi kesehatan juga sangat besar.
Puji bercerita, sudah sejak lama masyarakat NTT mengonsumsi kelor, karena di sana memang banyak sekali terdapat pohon kelor.
Menariknya, kelor dimanfaatkan untuk memperbaiki kondisi gizi buruk pada anak.
Angka stunting di Flores Timur cukup tinggi.
Suatu hari, sebuah puskesmas berinovasi dengan memberi makanan tambahan berupa sorgum serta kelor dan sayuran lain kepada anak-anak dengan gizi buruk.
Program berdurasi 3 bulan tersebut berhasil meningkatkan berat badan anak hingga mereka tidak lagi masuk kategori gizi buruk.
“Program itu kemudian diuji coba di beberapa puskesmas lain, hingga kemudian dibuatlah kampanye solor, yaitu sorgum kelor. Ini merupakan bukti nyata bahwa ternyata pangan lokal mampu mengatasi stunting dan gizi buruk,” lanjut Puji.
Ade sendiri cukup sering mengonsumsi daun kelor.
“Ibuku dulu sering memasak bobor daun kelor. Daunnya sendiri nyaris tak punya cita rasa tertentu. Dia akan mengikuti rasa yang kita ciptakan. Dibuat tumis sebetulnya bisa, walaupun tidak lazim. Yang paling sering adalah dibuat sayur bening. Dijadikan salah satu bahan urap dan pecel juga memungkinkan,"kata Ade.
Tapi, kenapa, ya, daun kelor baru booming sekarang?