4 Fakta Sejarah dan Budaya Dalam Kuliner Gorontalo, Ini Penjelasan Antropolog Makanan Unpad dan Pelaku UMKM

- 17 Desember 2021, 09:39 WIB
Nasi Kuning, Tili’aya, telur rebus, dan pisang yang dibagikan kepada petani dan tetangga sekitar saat menghambur benih padi. /  Foto_ Zahra Khan (@bakulgoronto)
Nasi Kuning, Tili’aya, telur rebus, dan pisang yang dibagikan kepada petani dan tetangga sekitar saat menghambur benih padi. / Foto_ Zahra Khan (@bakulgoronto) /

3. Simbol perdamaian dua kerajaan

Terkait sejarah yang berhubungan dengan keberadaan kerajaan, Gorontalo masih memiliki makanan yang menjadi makanan tertua di daerah tersebut, yaitu Ilabulo. Makanan ini menjadi simbol perdamaian di antara raja-raja yang sedang bertikai.

Zahra bercerita, zaman dulu terjadi perang antara Kerajaan Limutu dan Kerajaan Holunthalangi. Ceritanya, mereka kemudian bersepakat untuk berdamai dan mengakhiri pertikaian dengan cara menyatukan cincin keduanya, kemudian cincin itu dibuang di Danau Limboto. Karena itu, tugas orang yang berdarah Gorontalo adalah menjaga agar danau tersebut tidak kering. Sebab, ketika kering, cincin jadi terlihat dan perang bisa kembali tersulut.

Ilabulo dibuat dari sagu dan kulit ayam yang dicampurkan, dibungkus daun pisang, lalu dikukus atau dibakar. Makanan sederhana tersebut sampai sekarang masih mudah ditemukan di berbagai acara maupun sebagai jajanan sehari-hari. Seiring perkembangan zaman, oleh warga Gorontalo makanan ini disimbolkan sebagai syukuran setelah khitanan.

“Setelah dikhitan anak biasanya kehabisan energi karena menangis. Untuk mengembalikan energinya, ia diberi makanan yang enak, sehat, dan mudah disantap. Ilabulo bernilai gizi tinggi karena diisi dengan ayam kampung, dan biasanya disajikan dengan Kuah Asam Ikan Gabus. Selain itu, sajian ini juga membantu pemulihan ibu yang melahirkan secara alami,” kata Zahra.

4. Ada makanan yang nyaris langka

Rupanya, ada sejumlah makanan khas Gorontalo yang mulai menghilang.

Zahra kembali bercerita, sebelum bisa mengakses beras, warga Gorontalo mengonsumsi singkong yang diparut atau sagu yang santap dengan kelapa cukur.

“Ibu saya menyebutnya Alopa. Singkong atau sagu diberi bumbu bawang putih dan jahe, lalu dikukus. Makanan ini disantap bersama ikan bakar dan dabu-dabu. Tapi, makanan ini sudah tidak ada lagi," ungkap dia.

Ada lagi makanan yang nyaris langka, yaitu Bode’o yaitu semacam sambal, serundeng, atau abon, tapi berbeda.

Halaman:

Editor: Rama Prasetyo Winoto

Sumber: Lensa Banyumas Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL)


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

x