Hal ini kata Suwardi, berdasarkan asumsi kalau harga pakan per kilo dikalikan tiga itu akan ketemu harga break even point atau BEP.
"Idealnya, harga telur mestinya Rp 19500 per kilogram. Namun kenyataan saat ini harga telur cuma Rp 15 ribu. Maka satu kilogram telur peternak mengalami kerugian sekitar Rp 5000, dikalikan 325 ton, maka akan ketemu sekitar Rp 16 miliar," paparnya.
Ironisnya, harga telur di pasar tradisional masih tinggi, tidak ada penurunan.
Harga kisaran Rp 20 ribu sampai Rp 22 ribu per kilogram.
Di tempat yang sama, Sekjen Koperasi Unggas Sejahtera Kendal, Sigit Purnomo mengemukakan, saat ini banyak peternak ayam telur yang mengurangi populasi sekitar 30 persen.
"Bahkan ayam usia 65 minggu sudah di afkir dini. Sehingga para peternak tidak mengurangi karyawan, namun hanya mengurangi populasi. Jadi kalau masih bisa bertahan, itu masih bagus," ungkap Sigit.
Ia berharap kepada pemerintah untuk memperhatikan nasib para peternak.
"Selama ini, para peternak juga sudah memberikan bantuan telur bagi nakes di tengah pandemi. Sehingga dengan adanya campur tangan pemerintah, para peternak bisa bergairah lagi," pungkasnya.
Salah seorang pekerja ternak Ismari juga meminta pemerintah bisa menaikkan harga telur.
Sebab jika para peternak gulung tikar; ia juga akan kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian untuk keluarga.