Terkait Mudik, Pemerintah Seharusnya Dorong Cek Kesehatan Bagi Para Pemudik

- 7 April 2021, 20:32 WIB
Ilustrasi Mudik Lebaran. / Foto: ANTARA
Ilustrasi Mudik Lebaran. / Foto: ANTARA /

LENSA BANYUMAS -  Aktivis mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta Muhammad Rizki menyatakan kurang setuju terhadap larangan mudik pada lebaran tahun ini.

Mahasiswa Fakultas Teknik itu justru menawarkan berbagai strategi kepada Pemerintah untuk mengatur mekanisme agar mudik tetap bisa dijalankan.

Menurutnya, salah satu upaya yang bisa dilakukan, misalnya, membuat aturan bagi pemudik untuk melakukan pengecekan kesehatan secara gratis di lokasi keberangkatan seperti terminal, bandara, pelabuhan, dan stasiun.

Baca Juga: Pemkab Banyumas Siapkan Tempat Karantina untuk Menyambut Pemudik Nekat

Juga tes kesehatan bagi para pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi.

“Saya pribadi kurang setuju akan adanya larangan mudik di lebaran 2021 ini. Terutama bagi saya sebagai mahasiswa perantau. Karena pertama, momen-momen di kampung halaman tuh tidak bisa tergantikan. Karena mudik itu budaya Indonesia dan kalau seumpama budaya itu dilarang maka akan terjadi penolakan di mana-mana,” ungkap Mahasiswa asal Desa Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, seperti dikutip Lensa Banyumas-PIKIRAN RAKYAT.com dari nu.or.id, hari Rabu 7 April 2021.

Menurutnya, jika pelarangan mudik semakin diketatkan maka sangat mungkin orang-orang Indonesia justru akan semakin nekat untuk tetap pulang ke kampung halaman dengan berbagai cara yang bisa diupayakan.

Bahkan bisa jadi, terjadi akal-akalan agar tetap bisa mudik.

“Sangat mungkin. Bisa jadi orang itu akal-akalan buat mudik. Kalau seumpama ada pembatasan mudik dan diatur dengan menggunakan jam, misalnya mudik diperbolehkan dari jam 7 pagi sampai jam 7 malam, maka masyarakat dan saya pun juga akan akal-akalan lagi, mencari cara,” kata Rizki yang merantau sejak lima tahun lalu dari Cirebon ke Kabupaten Bekasi ini.

Dia menyebutkan, pemerintah dengan segala sumber daya yang dimiliki, seharusnya bisa mengatur mekanisme alur mudik, bukan justru melarangnya.

Berbagai pembatasan mesti dilakukan tetapi tetap dengan disertakan penyeleksian secara ketat. 

“Jadi orang-orang yang berusia lanjut dan rentan terkena Covid-19 saja yang dilarang. Artinya, para pemudik harus dipastikan sehat terlebih dulu sebelum melakukan keberangkatan ke kampung halaman,” tutur Rizki. 

Kalau pemudik menggunakan jasa transportasi kereta api, misalnya, lanjut Rizki, mesti dipastikan bahwa mereka harus tiba di stasiun 15 menit sebelum keberangkatan.

Lalu dilakukan pengecekan kesehatan atau tes swab PCR terlebih dulu. 

“Kalau memang ada gejala-gejala yang berkemungkinan positif Covid-19, ya tidak boleh mudik. Hemat saya, pemudik harus benar-benar dalam keadaan kondisi badan sehat dan sebelum berangkat harus dites dulu nih. Ada waktu kira-kira kan sekarang 15 menit untuk dites swab PCR. Biar benar-benar yang mudik itu sehat semua dan ketika di rumah juga tidak menyebarkan virus,” pungkasnya. 

Terkait pengecekan kesehatan di bandara, terminal dan stasiun, menurut Rizki, seharusnya digratiskan.

“Nah pengecekan kesehatan di bandara, terminal, dan stasiun harus digratiskan karena saya sebagai mahasiswa kondisi keuangannya sangat limit atau terbatas dan penghasilannya juga hanya dapat kiriman dari orang tua,” tandasnya. 

Namun dia berharap agar jangan sampai orang-orang membawa surat kesehatan dari rumah, karena kerap kali terjadi jual-beli surat sehat di berbagai klinik atau fasilitas kesehatan yang lain. 

“Karena ada saja yang memanfaatkan momentum untuk jual beli. Sebenarnya kita dalam kondisi sakit tapi karena surat itu bisa diperjualbelikan, itu kan jadi tidak mewakili badan kita. Itu sih strateginya, sebelum berangkat kita cek kondisi kesehatan 15 menit, hasil keluar langsung berangkat,” imbuhnya. 

Rizki menyampaikan permohonan kepada pemerintah agar mudik diperbolehkan dengan cek kesehatan dilaksanakan di lokasi keberangkatan.

“Sekali lagi saya mohon agar mudik diperbolehkan dan dilakukan cek kesehatan di lokasi pemberangkatan. Dengan catatan gratis karena tidak semua orang sukses secara finansial,” ujar Rizki.

Apabila mudik diperbolehkan dan diatur secara ketat, sebenarnya juga bisa membangkitkan perekonomian negara yang sedang carut-marut karena Covid-19.

Karena pemasukan anggaran negara bisa didapat dari transportasi yang meningkat permintaannya. 

“Artinya yang semula bus-bus itu yang dilarang otomatis yang dilarang, ketika dibolehkan mudik, otomatis kan transportasi itu kan naik permintaannya. Jadi itu bisa jadi bahan pemasukan buat negara dan memulihkan perekonomian kita,” ucap Rizki.  

Sekalipun orang-orang melakukan mudik dengan menggunakan kendaraan pribadi, maka pengecekan kesehatan bisa disediakan di posko yang juga bisa digunakan untuk istirahat.

Ini juga dapat bermanfaat untuk membangkitkan ekonomi negara karena pasti terjadi transaksi jual-beli antar warga selama di perjalanan.

Pulang setahun sekali, Rizki sudah hidup di Bekasi selama hampir lima tahun, sejak lulus SMA di Cirebon.

Dalam setahun, hanya satu kali dia berkesempatan untuk mudik yakni pada saat libur Hari Raya Idul Fitri.

Tahun kemarin, ia tetap melangsungkan mudik di awal-awal bulan Syawal, setelah lebaran.

Sebagai mahasiswa rantau, Rizki hanya mendapat kiriman uang dari orang tua. Namun kiriman itu pun hanya dalam kondisi darurat.

Sementara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia juga mencoba peruntungan dengan menjadi pekerja freelance seperti mengajar di salah satu Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ) di Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.

“Jadi lumayan dapat uang jajan buat kehidupan sehari-hari. Terutama akhir-akhir ini juga lumayan tuh karena banyak siswa yang ngaji dan les. Karena ketika di sekolah siswa-siswa juga belum pada masuk (paham), otomatis banyak siswa yang mengalami kesulitan belajar. Nah momentum-momentum itu, saya manfaatkan untuk jadi guru freelance atau guru les privat,” urai Rizki.

Selama di perantauan dan hidup jauh dari orang tua, dia berusaha menyisihkan pendapatan untuk dibawa ke kampung halaman dan diberikan kepada keluarga yang ada di sana.

Jika dalam keadaan normal, Rizki akan mudik pada H-5 menjelang lebaran. Mudik agar tidak kepaten obor Bagi Rizki, mudik adalah momentum untuk mengingatkan pada sejarah kehidupan semasa kecil.

Mudik menurutnya, sebagai upaya menjalin silaturahim agar tidak kepaten obor (apinya termatikan).

“Setibanya di sana, sebagai tradisi orang kampung, kita mengunjungi sanak saudara. Jadi kalau bahasa Cirebon itu jangan sampai kepaten obor. Jangan sampai kita tidak tahu sejarah keluarga kita sendiri atau nasab kita sendiri,” lanjut Rizki.

Mudik baginya adalah momentum mengingatkan sejarah dan berkumpul bersama keluarga.

“Jadi secara nasab, ketika mudik, kita diperkenalkan lagi dengan keluarga besar yang mungkin sebelumnya belum kenal atau lupa. Jadi mudik itu bagi saya adalah momentum mengingatkan sejarah. Mudik adalah momentum pas untuk berkumpul keluarga. Setiap lebaran, di desa, semua keluarga besar saya berkumpul,” imbuhnya.***

Editor: Rama Prasetyo Winoto

Sumber: nu.or.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkini