Mahasiswa Unsoed Gelar Aksi Unjuk Rasa Minta Jaksa Agung Usut Pelanggaran HAM Berat

- 9 September 2021, 19:32 WIB
Aksi unjuk rasa Mahasiswa Unsoed meminta Jaksa Agung ST Burhannudin usut pelanggaran HAM berat di Purwokerto, 9 September 2021
Aksi unjuk rasa Mahasiswa Unsoed meminta Jaksa Agung ST Burhannudin usut pelanggaran HAM berat di Purwokerto, 9 September 2021 /Rama Prasetyo Winoto/

LENSA BANYUMAS - Puluhan mahasiswa Unsoed menggelar aksi unjuk rasa di bundaran air mancur Kelurahan Berkoh Purwokerto Banyumas, Jawa Tengah.

Aksi yang berlangsung kurang lebih satu jam itu di jaga aparat Polresta Banyumas.

Dalam aksi itu mahasiswa membentangkan poster yang berisi tuntutan agar Jaksa Agung segera mengusut pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Baca Juga: 3 Atlet Kickboxing Kendal Wakili Jawa Tengah Di PON Ke 20 Papua, Ketua KONI Kendal: Kita Bangga

Aksi yang dilakukan juga merespon rencana pemberian gelar profesor kepada Jaksa Agung ST Burhannudin SH yang akan dilakukan hari Jumat 10 September 2021 besok di Auditorium Unsoed.

Dalam aksinya, mahasiswa menilai Jaksa Agung dinilai tidak tepat mendapat gelar, apalagi Jaksa Agung tidak menunjukkan komitmen dalam penuntasan pelanggaran HAM.

Menurut Kordinator Aksi, Alfisyar Aska Ramadhan, aksi tersebut merupakan aksi kedua yang dilakukan sepekan sebelumnya.

"Kami menuntut aparat bisa menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi Indonesia. Kami juga menyayangkan sikap Jaksa Agung yang mengeluarkan tragedi semanggi dua bukan sebagai pelanggaran HAM berat,"ujarnya.

Mahasiswa Unsoed gelar aksi unjuk rasa yang meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin usut pelanggaran HAM berat, 9 September 2021.
Mahasiswa Unsoed gelar aksi unjuk rasa yang meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin usut pelanggaran HAM berat, 9 September 2021.

Karena itu, dalam aksinya tersebut, para mahasiswa meminta Jaksa Agung agar pelanggar HAM berat diadili. 

"Kami minta para pelanggar HAM berat, di adili seadil-adilnya," ucap Alfi.

Saat demo berlangsung puluhan polisi tampak berjaga-jaga, dan tidak membubarkan. 

Sekitar pukul 16.30 WIB, mahasiswa Unsoed kemudian membubarkan diri.

Sebelumnya BEM Unsoed juga menuliskan di akun Instagram tentang penolakan pemberian gelar profesor kepada Jaksa Agung.

BEM Unsoed menganggap pengukuhan gelar profesor diberikan kepada ST Burhanuddin atas konsep keadilan restoratif.

"Pemberian ini dilakukan oleh kampus kita, padahal jika kita telisik lebih dalam ternyata ST Burhanuddin ini memiliki riwayat kontroversial terkait pelanggaran HAM Berat," tulis BEM Unsoed di akun Instagramnya@bem_unsoed.

Menurut BEM Unsoed dalam akunnya itu, jika pemberian gelar itu dilakukan oleh Unsoed akan menjadi preseden buruk dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat. 

Sementara itu saat aksi mahasiswa berlangsung tampak ada pula warga yang membentangkan spanduk dukungan kepada Jaksa Agung Burhannudin SH.

Spanduk warga tersebut berbunyi Selamat Datang Jaksa Agung RI di Banyumas, Selamat dan Sukses atas pemberian gelar Profesor.

Sementara itu Pakar Hukum Acara Pidana Unsoed Prof Dr Hibnu Nugroho SH MHum, menilai Jaksa Agung ST Burhanuddin dari sisi keilmuannya mengenai restoratif justice sangat baik. 

"Secara keilmuannya baik, terutama memperkuat restorative justice," ujar Guru Besar Unsoed itu. 

Sedangkan salah satu masyarakat Banyumas Nanang Sugiri, SH mengatakan Unsoed bukan hanya milk mahasiswa saja, akan tetapi juga milik masyarakat Banyumas dan sekaligus menjadi kebanggaan bagi masyarakat Banyumas.

"Saya selaku Masyarakat Banyumas dimana Unsoed merupakan universitas kebanggaan masyarakat Banyumas, akan selalu mendukung seluruh kebijakan unsoed termasuk pemberian gelar kehormatan yang rencananya akan diberikan pada Jaksa Agung," ucap Nanang Sugiri.

Ia meyakini pemberian gelar profesor kepada Jaksa Agung sudah melalui pertimbangan yang matang. 

"Saya yakin kebijakan tersebut pasti sudah dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang dan berdasarkan Peraturan -peraturan yang ada baik peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 40 Tahun 2002 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan/Guru Besar Tidak Tetap pada Perguruan Tinggi dan Surat Edaran DIKTI Nomor: 154/E/KP/2013 mengenai Guru Besar Tidak Tetap. dan/atau peraturan-peraturan lain yg terkait,"kata Nanang melanjutkan.

Menurut Nanang, pernyataan Jaksa Agung mengenai restorative justice jika difokuskan pada pelanggaran HAM berat adalah penafsiran yang sangat sempit. 

"Menurut saya, terkait adanya statement mengenai restorative justice, jika pemahaman restorative justice hanya difokuskan pada pelanggaran HAM berat, maka itu merupakan penafsiran yang sangat sempit," ungkap Nanang yang berprofesi sebagai Pengacara itu. 

Dia berpendapat restorative justice seharusnya dipandang dari sudut pandang yang lebih luas karena keberadaannya sangat bermanfaat bagi masyarakat luas.

"Saya berpendapat restorative justice itu mestinya dipandang dari sudut pandang yg luas karena sangat dibutuhkan keberadaannya dan pelaksanaannya sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat," kata Nanang menambahkan.***

Editor: Rama Prasetyo Winoto

Sumber: Lensa Banyumas


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x