Pemerintah Dinilai Tidak Memiliki Posisi Jelas Menentukan Masa Depan Sektor Industri Hasil Tembakau

25 Juli 2020, 15:23 WIB
Seorang petani tembakau tengah melihat tanaman tembakaunya di ladang. Antara /

Lensa Banyumas- Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati melihat saat ini pemerintah tidak memiliki posisi jelas untuk menentukan masa depan sektor industri hasil tembakau (IHT).

"Pada satu titik, perlu ada kejelasan aturan, industri ini mau diapakan. Apakah akan dilarang total, atau bagaimana," kata Enny dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.

Dilansir lensabanyumas.com dari Antara, terbitnya Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang di dalamnya terdapat penyederhanaan tarif cukai dinilai dapat mengancam IHT yang merupakan salah satu sektor industri yang berperan cukup besar dalam perekonomian Indonesia.

Baca Juga: Dengan Program Desa Cantik, BPS Wonosobo Ingin Pemutakhiran Data Desa Lebih Optimal

Baca Juga: Pergerakan Rupiah Dinilai Masih akan Dominan Dipengaruhi Sentimen Kekhawatiran Covid-19

Kebijakan itu juga bisa berdampak pada tutupnya pabrik rokok, khususnya pabrikan kecil dan menengah dan penyerapan komoditas tembakau dan cengkih menjadi terancam.

Lebih lanjut Enny menyebutkan, selama pandemi, sumbangan IHT adalah satu-satunya yang masih stabil, sehingga harus ada roadmap aturan yang jelas dan mampu mengakomodasi semua sektor dari hulu-hilirnya seperti komoditas tanamannya, petaninya mau dikemanakan, pabrikan, buruh, sampai perdagangannya harus dipikirkan akan seperti apa ke depan.

Sebelum pandemi, cukai rokok menempati posisi ketiga tertinggi setelah PPh dan PPN. “Kalau sudah ada kejelasan, saya yakin regulasi IHT tidak akan tarik ulur. Kuncinya punya roadmap, tidak bisa asal ikut negara,” kata Enny.

Baca Juga: Bekerja di Bawah Target, Bank Pelaksana Dana FLPP Bakal Diperingatkan

Baca Juga: The Enders Game Tayang di Bioskop Trans TV Malam Ini

Terkait penyederhanaan dan penggabungan volume produksi sigaret kretek mesin (SKM) dengan sigaret putih mesin (SPM), Enny menekankan produk tembakau di Indonesia ini unik karena adanya komoditas kretek yang menjadi ciri khas produk Indonesia.

“Nah, yang menarik adalah rencana penggabungan SKM dan SPM ini.

IHT merupakan salah satu industri yang berperan cukup besar dalam perekonomian Indonesia.

Baca Juga: Kronologi Tewasnya Editor Metro TV Yodi Prabowo yang Diduga Bunuh Diri

Baca Juga: Beli Pisau Sendiri, Editor Metro TV Yodi Prabowo Diduga Bunuh Diri

Kendati demikian, peredarannya termasuk yang dikontrol mengingat adanya risiko yang mungkin muncul jika dikonsumsi secara berlebihan.

Terlepas dari hal itu, industri ini memiliki rantai bisnis yang sangat luas sehingga mampu menciptakan nilai tambah di setiap lapisan operasionalnya, salah satunya menciptakan lapangan kerja.

Namun, kebijakan pemerintah terhadap IHT dinilai menjadi kian eksesif bagi pelaku usaha.

Baca Juga: Dibintangi Joey King, Film The Kissing Booth 2 Tayang di Netflix, Ini Sinopsisnya!

Baca Juga: Gli Kucing Hagia Sophia yang Jadi Favorit Pengunjung

Salah satu kebijakan yang kembali menimbulkan keresahan banyak pengusaha rokok adalah terbitnya Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang di dalamnya terdapat penyederhanaan layer tarif cukai.

Kebijakan itu dinilai bisa berdampak pada tutupnya pabrik rokok khususnya pabrikan kecil dan menengah dan penyerapan komoditas tembakau dan cengkeh menjadi terancam.

Padahal, selama pandemi COVID-19 banyak pelaku IHT sudah mulai merasakan dampak ekonomi yang cukup signifikan, khususnya pasca penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah daerah.

Baca Juga: Momentum Hari Anak Nasional 2020, Forum Anak Banyumas Sampaikan 10 Butir 'Suara Anak Banyumas'

Baca Juga: Presiden Jokowi Siapkan Sapi Limousin Berat 1,3 Ton untuk Kurban di Palangka Raya

Sementara itu, Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian, Hendratmojo Bagus Hudoro mengatakan bahwa dari sektor hulu atau kesiapan bahan baku pada dasarnya produksi masih berjalan.

Hanya saja, ia mengakui bahwa selama PSBB berlangsung ada pembatasan yang berdampak pada penyerapan ke pabrikan.

“Meski saat ini produksi masih berjalan, namun semasa PSBB berlangsung, pasokan ke industri pasti terganggu,” katanya.

Hendratmojo juga mengatakan pihaknya telah mendengar ada rencana pembahasan kembali penyederhanaan tarif cukai yang masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024.

Baca Juga: Maling Sembilan Kerbau di Cilegon Ambil Daging Tinggalkan Kulit, Tulang, dan Kepala

Baca Juga: Kuburan Massal Eks Perwira Sudan yang Dieksekusi Secara Misterius Pada 1990 Ditemukan

“Saya rasa kebijakan ini sudah dipertimbangkan oleh Kementerian Keuangan, dan pengaruhnya pada aspek hulu tidak banyak berpengaruh. Akan tetapi, jika bicara soal bagaimana penyerapan dan harga produk ke depan tentu berbeda lagi,” ujarnya.

Belum lama ini, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Republik Indonesia mengumumkan akan menerapkan kembali penyederhanaan lapisan tarif cukai.

Kebijakan penyederhanaan tarif cukai ditujukan untuk mengurangi lapisan tarif cukai dari 10 layer ke 5 layer di 2021.

Baca Juga: Kabar Baik, Kompetisi Liga Sepak Bola Indonesia Akan Segera Bergulir, Ini Protokol Kesehatannya

Baca Juga: Ini Kiat yang Perlu Dilakukan Orang Tua saat Kegiatan Pembelajaran di Rumah

Kebijakan itu pernah diberlakukan sebelumnya, namun dihapuskan dengan diberlakukannya PMK No.156 Tahun 2018.

Diskusi berbagai pihak menyepakati bahwa penyederhanaan tarif cukai yang sebelumya juga dibarengi dengan penggabungan volume produksi SKM dan SPM ini hanya akan membuat industri kecil dan menegah tidak memiliki daya saing, sehingga hanya industri yang besar dan berada di golongan satu sajalah yang dapat bertahan dan berkembang. ***

Editor: Muhammad Abdul Rohman

Sumber: antaranews

Tags

Terkini

Terpopuler