Mengenal Sosok Penjaga Hutan Adat Wonosadi Sri Hartini

2 Mei 2021, 17:52 WIB
Sri Hartini Penjaga Hutan Adat Wonosadi. / wanaswara /

LENSA BANYUMAS - Menjaga alam merupakan tugas kita sebagai manusia, karena alam yang lestari akan memberikan dampak yang baik bagi kehidupan.

Sri Hartini penjaga Hutan Adat Wonosadi di Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Gunung kidul, Yogyakarta telah membuktikannya, dengan menjaga hutan akan memberikan keseimbangan antar makhluk hidup yang ada didalamnya.

"Hutan adalah warisan yang tidak boleh menjadi sekedar kenangan," kata perempuan berusia 51 tahun itu.

Baca Juga: Lestarikan Alam, WWF Indonesia Latih Banyak Pendidik Lingkungan Muda

Sri Hartini yang menggantikan sang Ayah sejak 2009 sebagai Ketua kelompok Ngundi Lestari, sebuah kelompok inisiatif masyarakat yang menjaga hutan adat wonosadi tersebut, sejak kecil bersama ayahnya sudah merawat hutan adat wonosadi.

Hutan adat wonosadi terletak di antara dua dusun yakni Dusun Duren dan Dusun Sidorejo.

Hutan sekitar 25 hektar ini merupakan warisan turun temurun, tidak heran jika hutan ini disakralkan oleh masyarakat setempat karena ada keterkaitan dengan leluhur.

Melanjutkan kepemimpinan sebagai ketua Ngundi Lestari dari sang ayah yang telah meninggal dunia, Sri hartini memegang teguh prinsip sang ayahnya “Janganlah meninggalkan air mata, tetapi tinggalkanlah mata air.”

Sudiyo, ayah Sri Hartini sudah menjaga Hutan Adat Wonosadi sejak tahun 60 an.

Dari cerita ayahnya, tahun 1965, Hutan Wonosadi pohonnya habis ditebang habis oleh warga setempat. Hanya tersisa empat buah pohon saja.

“Tahun 1966, ayah saya bersama warga setempat kemudian menanami kembali Hutan Wonosadi yang ditebang habis. Setiap hari ayah saya menjaga tanaman yang ditanam di lereng bukit ini,” ungkapnya. 

Hasil kerja keras Sudiyo dan warga lainnya pun membuahkan hasil.

Hutan Wonosadi kemudian terpilih sebagai kawasan percontohan pengelolaan hutan rakyat.

Bahkan Hutan Wonosadi pun pernah memenangkan penghargaan Kehati tingkat nasional.

Sudiyo juga terpilih sebagai kader lingkungan hidup.

Sosoknya yang seorang perempuan awalnya membuat banyak orang yang meragukannya menjadi ketua kelompok penjaga hutan.

Namun hal itu tidak membuatnya patah semangat justru menjadi pembuktian bagi Sri Hartini bahwa ia mampu memimpin kelompok Ngundi Lestari.

Hal ini terbukti selama ia menjabat belum ada penebangan pohon di hutan adat wonosadi.

Saat ini berbagai tumbuhan mulai dari Munggur yang sudah berusia ratusan tahun hingga pohon buah-buahan masih tetap terjaga di Hutan Wonosadi.

Berbagai hewan hidup pun bebas di Hutan Wonosadi mulai dari elang hingga kijang.

Sebagai seorang istri dan ibu dua anak, Sri juga tidak melupakan tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga.

Untuk membantu sang suami yang merupakan pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS), Sri Hartini pernah menjadi seorang guru PAUD.

Saat ini, Sri Hartini ikut menopang ekonomi keluarga dengan membuka sebuah warung kelontong kecil yang tak jauh dari Hutan Wonosadi.

Sri hartini mengungkapkan upahnya dari Jagawana hanya dibayar Rp 50.000, itupun diterima setiap tiga bulan sekali.

Tetapi Sri tidak pernah mempersoalkan itu karena baginya ini semua soal kebermanfaatan. 

Kesenian bagi masyarakat sekitar Hutan Wonosadi adalah benteng terakhir menjaga budaya mereka yang dekat dengan alam. 

Mereka mewarisi upacara labuh yaitu upacara mulai menanam sampai panen padi yang dikenal Mboyong Dewi Sri (membawa padi dari sawah ke rumah).

Upacara lainnya yang masih dilaksanakan hingga kini disebut Bersih Dusun atau Sedekah Bumi atau Rasulan.

Ritual yang paling terkenal dan berhubungan dengan eksistensi hutan Wonosadi adalah Sadranan Wonosadi.

Ritual ini, biasanya dihadiri banyak orang. 

Dalam kegiatan tersebut kerap dimainkan kesenian Rinding Gumbeng yang nilai filosofinya adalah cerminan kehidupan keseharian warga Gunung Kidul yang ulet, sederhana, serta dekat dengan alam.

Menurut Sri, musik rinding secara turun-temurun dipercaya semata dipersembahkan dan untuk menyenangkan Sang Penguasa Alam.

"Musik ini diyakini sebagai musik pertama yang diciptakan manusia, jauh sebelum manusia mengenal logam," ujarnya. 

Karena itu, rangkaian alat yang digunakan hanyalah bahan dari bambu.

Dia juga selalu berpesan kepada anak-anaknya dan generasi muda agar menjaga lingkungan.

Tidak hanya itu, Sri juga berharap perempuan-perempuan indonesia agar tetap menjadi perempuan yang tangguh, dan menjadi insan-insan yang bermanfaat untuk orang banyak.

"Termasuk menjaga kelestarian lingkungan," pungkasnya.***

Editor: Rama Prasetyo Winoto

Sumber: Lensa Banyumas wanaswara.com

Tags

Terkini

Terpopuler