Tajam dan Tandes Cuitan Fadli Zon Kritik Soal JHT: Sama Saja Pemerintah Paksa Kaum Buruh Biayai Krisis

19 Februari 2022, 15:45 WIB
Fadli Zon tajam dan tandea mengkritik aturan baru soal JHT. /Instagram.com/@fadlizon/

LENSA BANYUMAS - Desakan agar Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Program Jaminan Hari Tua (JHT) dicabut, sudah banyak disuarakan.

Melalui Permenaker tersebut Pemerintah menetapkan bahwa pencairan dana JHT secara penuh baru bisa dilakukan sesudah peserta mencapai usia 56 tahun.

Padahal, aturan sebelumnya, manfaat JHT dapat diberikan pada peserta yang mengundurkan diri dan dibayarkan secara tunai setelah melewati masa tunggu 1 bulan.

Demikian cuitan Politisi Gerindra Fadli Zon yang mengkritik soal penahanan dana JHT dari aturan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022.

Baca Juga: Fadli Zon: Istilah Pulau Terluar Harus Diganti Pulau Terdepan

"Kalangan buruh tentu saja menolak perubahan itu, karena dinilai memberatkan. Sy lihat, mayoritas fraksi di parlemen, mayoritas pendapat publik juga telah menyampaikan penolakannya terhadap peraturan tsb. Aturan itu dianggap menzalimi kepentingan kaum buruh," tulis Fadli Zon di akun twitternya.

Karena besarnya penolakan masyarakat tersebut, menurutnya tak ada alasan bagi Presiden untuk mengabaikannya.

"Permenaker No. 2 Tahun 2022 sebaiknya memang segera dicabut agar tak menimbulkan gejolak sosial yg lebih besar," tandas dia.

Ini beberapa alasan yang disebut kenapa Permenaker itu bisa dianggap telah menzalimi kaum buruh.

Pertama, filosofi JHT adalah sebenarnya adalah tabungan, yaitu agar kaum buruh masih punya tabungan saat mereka tak lagi bekerja, atau tak lagi menerima upah.

Sehingga, teorinya, saat seseorang tak lagi menerima upah, maka ia seharusnya diperbolehkan mencairkan tabungannya.

"Nah, Permenaker No. 2 Tahun 2022 secara sepihak telah memaksa kaum buruh untuk menunda pencairan tabungan tadi hingga mencapai usia 56 tahun," jelasnya.

Padahal menurut dia, di sisi lain, Pemerintah sendiri tidak bisa memberikan jaminan bahwa kaum buruh bisa terus bekerja dan menerima upah, atau tidak akan kehilangan pekerjaannya, hingga mencapai usia tersebut.

"Ini kan zalim. Bagaimana jika buruh kena PHK pada usia 35 tahun, 40 tahun, atau 45 tahun, dan tidak bisa lagi masuk ke bursa kerja di sektor formal, apakah mereka harus menunggu 21 tahun, 16 tahun, atau 11 tahun kemudian untuk mencairkan uangnya sendiri?!," ungkapnya.

Kedua, Pasal 2 Permenaker No. 2 Tahun 2022 memang memberikan opsi pencairan JHT sebelum usia 56, namun dengan syarat buruh mengalami cacat total tetap atau meninggal dunia.

"Lho, JHT ini adlh “asuransi sosial” bagi orang yg kehilangan pekerjaan dan penghasilan, bukan asuransi jiwa atau kecelakaan kerja. Masak buruh harus mengalami cacat dulu, atau mati dulu hanya untuk mencairkan tabungannya? Aturan ini, selain zalim, juga aneh," tambahnya

Ketiga, kebijakan ini dirumuskan Pemerintah tanpa konsultasi publik terlebih dahulu dengan ‘stakeholder’ terkait, terutama kaum buruh serta Komisi IX DPR RI.

Baca Juga: 300 Juta Penduduk Menggunakannya, Fadli Zon Inginkan Bahasa Indonesia-Melayu Jadi Bahasa Internasional

"Proses perumusannya saja sudah tidak ‘fair’ dan tak terbuka, bagaimana isinya bisa ‘fair’ jika begitu?!," ujarnya.

Selain tak transparan, tidak fair, serta zalimnya peraturan tersebut terhadap kaum buruh, katanya ada persoalan lain yang perlu diperhatikan juga.

"Kenapa Pemerintah tiba-tiba mengubah peraturan mengenai JHT di tengah-tengah situasi pandemi? Apa yg sesungguhnya sedang terjadi?!," tandas Fadli Zon.

Legiator ini kembali menjelaskan, merujuk data BPS tahun 2021 terdapat 21,32 juta orang, atau 10,32 persen penduduk usia kerja, yang terdampak Covid-19.

Dari jumlah itu, penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena Covid-19 jumlahnya mencapai 17,41 juta orang, sementara 1,82 juta orang menjadi pengangguran karena Covid-19, dan 1,39 juta tidak bekerja karena Covid-19.

Menghadapi situasi tersebut, bisa dipastikan telah terjadi kenaikan klaim terhadap dana JHT.
"Kasus ini sebenarnya bukan khas Indonesia. Semua negara jg mengalami hal serupa, di mana klaim terhadap asuransi ketenagakerjaan telah meningkat krn situasi pandemi," kata dia.

Ia melanjutkan, jika membaca laporan keuangan BPJS Ketenagakerjaan tahun 2020, karena yang terbaru belum tersedia, jika dibandingkan dengan tahun 2019, jumlah klaim pencairan JHT pada tahun 2020 memang mengalami kenaikan 22,2 persen.

Dari data yang sama dapat dilihat bahwa pencairan klaim JHT di bawah usia 56 tahun telah meningkat sebesar 15,22 persen.

Angka ini mewakili jumlah kasus PHK di bawah usia 56 tahun yang terjadi sepanjang periode 2019 hingga 2020, atau akibat pandemi Covid-19.

"Saya kira, kenaikan klaim JHT akibat pandemi ini telah menekan arus kas BPJS Ketenagakerjaan, sehingga Pemerintah kemudian segera merilis peraturan yg mengubah mekanisme pencairan JHT," tandas nya.

Dilanjutkan, "Apalagi, kita juga membaca pernyataan Dirut BPJS Ketenagakerjaan, bhw hasil investasi dana jaminan sosial JHT sepanjang tahun 2021 mencapai Rp24 triliun, namun di sisi lain jumlah klaim yg dibayarkan mencapai Rp37 triliun,".

Kalau diasumsikan bahwa pembayaran klaim JHT dilakukan menggunakan hasil investasi, maka untuk tahun lalu saja ada defisit yang sangat besar, yaitu mencapai Rp13 triliun.

"Pertanyaannya kemudian, bagaimana defisit itu ditutupi? Apakah klaim JHT tahun 2021 ditutupi oleh iuran JHT tahun tersebut? Kalau begitu, berarti telah terjadi praktik “gali lubang tutup lubang” di BPJS Ketenagakerjaan. @BPJSTKinfo" terang Fadli Zon.

Jika itu yang terjadi, maka selain faktor kezaliman terhadap kaum buruh, dia juga melihat ada persoalan serius dalam soal manajemen investasi dana JHT yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan yang harus segera dibenahi.

Sebab apabila menyimak penjelasan Dirut BPJS Ketenagakerjaan, 65 persen dana JHT diinvestasikan pada obligasi dan surat berharga, di mana 92 persen di antaranya merupakan Surat Utang Negara (SUN), 15 persen ditempatkan pada deposito yang 97 persennya berada pada Himpunan Bank Negara (Himbara) dan Bank Pembangunan Daerah (BPD), 12,5 persen disimpan pada saham yang didominasi pada saham blue chip, yang termasuk dalam indeks LQ45.

Lalu, 7 persen diinvestasikan pada reksa dana, yang berisi saham-saham bluechip juga masuk dalam LQ45; dan terakhir, sebanyak 0,5 persen ditempatkan pada properti dengan skema penyertaan langsung.

Dengan struktur investasi semacam itu, maka bisa dikatakan sebagian besar tabungan para pekerja dalam JHT tadi telah digunakan untuk menopang keuangan negara.

Dan dengan Permenaker No. 2 Tahun 22, menghadapi gelombang-gelombang PHK akibat pandemi, alih-alih mendistribusikan risiko, Pemerintah telah menempatkan buruh sebagai pihak yang harus “membayar” risiko krisis.

Karena dilarang untuk mencairkan tabungan JHT-nya, secara tak langsung buruh sedang dipaksa untuk menjaga stabilitas keuangan negara.

Sementara stabilitas kebutuhan ekonomi mereka sendiri jika terkena PHK sama sekali tak diperhatikan Pemerintah.

Sebagai catatan, melalui omnibus law Cipta Kerja, Pemerintah telah mencabut beban pesangon yang harusnya ditanggung pengusaha ke asuransi PHK yang disebut JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan).

"Tetapi, meskipun Peraturan Pemerintah (PP) ttg JKP sudah diteken Presiden @jokowi pd tgl 2 Februari 2021, melalui PP No. 37 Tahun 2021 ttg Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan, namun sampai sekarang peraturan pelaksana dan sosialisasinya masih nihil," tuturnya.

Selain itu, skema kasar JKP juga sangat tidak memadai. Sebab, buruh hanya bisa menerima 45 persen dari upah sebelumnya selama tiga bulan, serta 25 persen saja pada masa tiga bulan sesudahnya.

*Jadi, skema ini hanya memberikan bantuan untuk masa 6 bulan saja. Padahal, tidak ada jaminan apapun setelah 6 bulan orang bisa mendapatkan pekerjaan kembali," jelasnya.

"Jadi, di atas kertas, saat ini, jika buruh kehilangan pekerjaan, satu-satunya harapan mereka sebenarnya hanya tinggal JHT saja. Sehingga, jika pencairan JHT dipaksakan harus menunggu hingga usia 56 tahun, sy setuju menganggap ini sbg bentuk kezaliman," lanjut dia.

Jika kebijakan ini tak segera ditarik, ia khawatir masyarakat mengalami demoralisasi terhadap sistem jaminan sosial.

"Sesudah kisruh Jiwasraya, Asabri, serta kisruh tata kelola iuran BPJS Kesehatan, Pemerintah akan semakin kesulitan meyakinkan masyarakat bhw asuransi sosial itu penting,* pungkas Fadli Zon.***

 

Editor: Ady Purwadi

Tags

Terkini

Terpopuler