Diversi Sebagai Alternatif Pemidanaan Bawa Angin Segar Bagi Masa Depan ABH, Ini Penjelasan PK Muda Bapas

- 29 Oktober 2021, 08:41 WIB
Marsiti, S.H., PK Muda pada kantor Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas II Purwokerto. / Bapas Purwokerto
Marsiti, S.H., PK Muda pada kantor Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas II Purwokerto. / Bapas Purwokerto /

LENSA BANYUMAS - Seiring dengan berkembangnya teknologi yang semakin canggih, saat ini tidak sedikit tindak pidana yang dilakukan anak dibawah umur.

Dari mulai tindak pidana ringan hingga tindak pidana berat.

Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Muda Kantor Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas II Purwokerto Marsiti, SH mengatakan dalam UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dijelaskan anak yang melakukan tindak pidana disebut sebagai Anak Berkonflik Dengan Hukum (ABH) atau disebut juga sebagai Anak Pelaku, yaitu anak yang telah berusia 12 tahun tetapi belum berusia 18 tahun.Kemasyarakata

Baca Juga: Belum Berusia 12 Tahun Namun Diduga Lakukan Tindak Pidana, Ini Peran Pembimbing Kemasyarakatan

Dalam pasal tersebut, kata Marsiti, ada alternatif penyelesaian masalah untuk ABH di luar persidangan formal, yang disebut dengan diversi.

"Pelaksanaan diversi sendiri dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi masa depan Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH)," papar Marsiti. 

Marsiti menyebutkan dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak, pasal 1 ayat 7 dijelaskan bahwa diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana.

"Namun demikian tidak semua tindak pidana dapat diselesaikan secara diversi karena ada persyaratan-persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat 1 dan 2 UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menjelaskan bahwa diversi sebagaimana dimaksud dapat dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan, diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana,"urainya.

Diversi inilah menurut Marsiti, dapat dikatakan sebagai angin segar bagi masa depan ABH sehingga masyarakat juga tidak perlu khawatir bahwa semua tindak pidana nantinya akan di diversikan, karena hal tersebut tidaklah mungkin.

Jadi, lanjut Marsiti, bagi anak yang melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana 7 ( tujuh ) tahun keatas dan atau sudah pernah melakukan tindak pidana atau (pengulangan) tindak pidana yang mendapat penetapan syah, maka tidak dapat dilakukan diversi.

"Hal tersebut menunjukan diversi hanya berlaku sekali dalam seumur hidup," sebut Marsiti. 

Jika muncul pertanyaan apa itu tujuan diversi, Marsiti menguraikan dalam pasal 6 UU Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2012 dijelaskan bahwa diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak pelaku; menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Sedangkan untuk pelaksanaan diversi itu, kata Marsiti, bisa dilakukan di tingkat kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.

"Yang bertindak sebagai fasilitator di setiap tingkatan pelaksanaan diversi yaitu penyidik/polisi, penuntut umum/jaksa, dan Hakim," terangnya. 

Sebagai wakil fasilitator yang mendampingi Anak Berkonflik Dengan Hukum (ABH) yaitu Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Bapas. 

Marsiti menerangkan PK bertugas membuat Penelitian Kemasyarakatan (litmas) kemudian saran/rekomendasi dari litmas dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam proses diversi seperti yang ada dalam pasal 9 ayat 1 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Pada pasal 9 ayat 1 UU Nomor 11 Tahun 2021 dijelaskan bahwa Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan diversi harus mempertimbangkan: 

a. kategori tindak pidana;

b. umur anak;

c. hasil Penelitian Kemasyarakatan dari Bapas; dan

d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.

Selain memperhatikan kepentingan anak, dalam proses diversi juga wajib memperhatikan kepentingan korban, sehingga apabila korban tidak sepakat maka diversi dinyatakan gagal walaupun da beberapa tindak pidana yang tidak harus mendapat persetujuan korban yaitu tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, tindak pidana yang kerugiannya dibawah upah minimum provinsi, seperti yang dijelaskan dalam pasal 9 ayat 2 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 

"Pelaksanaan diversi dapat dihadiri oleh Anak Berkonflik dengan Hukum dan orang tuanya, Korban/keluarga korban, Penyidik apabila diversi di tingkat penyidikan, Jaksa apabila diversi di tingkat penuntutan, Hakim apabila diversi di tingkat pengadilan, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial, dan pihak-pihak terkait apabila memungkinkan seperti pihak masyarakat, sekolah, BNN, dan lainnya,"ungkap Marsiti. 

Jika dalam musyawarah diversi terjadi suatu kesepakatan antara pihak anak (Pelaku), korban, dan pihak terkait, kata Marsiti, maka Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Bapas bertugas melaksanakan pengawasan dan pembimbingan setelah turunnya penetapan hakim dari pengadilan setempat.

Namun sebaliknya jika terjadi kegagalan diversi ditingkat penyidikan maka perkara anak akan dilimpahkan penyelesaiannya ketingkat penuntutan dan wajib diupayakan diversi kembali.

Kalau diversi kembali gagal, kata Marsiti, perkara dilimpahkan ke pengadilan dan tetap dilakukan upaya diversi kembali, kemudian apabila diversi tetap gagal maka perkara akan diselesaikan melalui proses persidangan. 

"Dalam hal diversi berhasil terjadi suatu kesepakatan bersama, namun anak tidak melaksanakan kesepakatan yang dimaksud maka diversi dianggap gagal sehingga Pembimbing Kemasyarakatan (PK) bertugas melaporkan kepada pihak atasan fasilitator diversi yang kemudian perkara akan dilanjutkan melalui proses persidangan formal,"jelas Marsiti. 

Ia menambahkan diversi tersebut sebagai salah satu langkah restorative justice yaitu penyelesaian perkara dengan melibatkan pelaku atau keluarga atau korban atau keluarga dari pihak tertentu untuk duduk bersama mencari penyelesaian yang adil dan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Dengan adanya diversi tentunya dapat menjadi kabar baik dan dapat juga diistilahkan diversi sebagai angin segar bagi masa depan Anak Berkonflik dengan Hukum. 

"Adanya diversi memberikan satu kesempatan terhadap anak untuk memperbaiki diri dan merubah diri supaya menjadi sosok anak yang lebih baik lagi, tidak mengulangi perbuatan yang melanggar hukum lagi, dan dapat meraih apa yang dicita-citakan mereka,"imbuh Marsiti. ***

Editor: Rama Prasetyo Winoto

Sumber: Bapas Kelas II Purwokerto


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x