Untuk Mengatasi Krisis Kedelai, Pengamat UGM: Dibutuhkan Penguatan Inovasi Produksi

- 24 Februari 2022, 19:34 WIB
Untuk Mengatasi Krisis Kedelai,  Pengamat UGM Sebut Dibutuhkan Penguatan Inovasi Produksi. / freepik / @jcomp
Untuk Mengatasi Krisis Kedelai, Pengamat UGM Sebut Dibutuhkan Penguatan Inovasi Produksi. / freepik / @jcomp /

LENSA BANYUMAS - Krisis kedelai dialami Indonesia dalam sepekan terakhir.

Krisis kedelai ini ditandai dengan peningkatan harga yang signifikan dari Rp 7 ribu sampai Rp 9 ribu menjadi Rp 11.300 di Jawa dan sampai 12.500 rupiah per kilogram di luar Jawa.

Kenaikan harga 30-40 persen tersebut tentu sangat memberatkan konsumen kedelai yang sebagian besar merupakan UMKM perajin tahu dan tempe.

Bahkan di beberapa daerah perajin mogok produksi karena tingginya harga kedelai.

Baca Juga: Jelang Perhelatan MotoGP, NTB Perkuat Kerjasama Dengan Jabar

Sebagian perajin menyiasati dengan mengurangi ukuran dan terpaksa menaikan harga tempe dan tahu.

Imbas lainnya yaitu kenaikan harga tempe dan tahu serta produk olahannya seperti gorengan dan keripik.

Akibatnya, pengeluaran rumah tangga juga meningkat. 

“Tempe dan tahu ini sebenarnya lauk yang dapat disajikan dengan berbagai variasi dengan harga cukup terjangkau serta memiliki kandungan protein cukup baik sehingga menjadi pilihan bagi keseharian masyarakat," kata Subejo dari Fakultas Pertanian UGM dilansir dari laman resmi perguruan tinggi negeri itu, Kamis 24 Februari 2022.

Menanggapi krisis kedelai yang tengah terjadi, Subejo menyebutkan krisis kedelai global dipicu oleh beberapa hal yaitu menurunnya produksi kedelai di Amerika Serikat dan Brasil sebagai penghasil utama kedelai dunia akibat La Nina, serta meningkatnya impor kedelai oleh China.

Saat ini China,menurutnya, merupakan importir kedelai terbesar di dunia dimana  tahun 2020 mengimpor 58 persen dari total ekspor kedelai Amerika Serikat.

Dia menjelaskan kedelai merupakan tipikal komoditas yang sangat sesuai dikembangkan di negara empat musim dan kurang optimal dikembangkan di negara beriklim tropis seperti Indonesia.

Tingkat produktivitas kedelai Indonesia sangat jauh dibandingkan dengan produktivitas di Amerika dan Eropa.  

“Dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat permintaan kedelai juga semakin meningkat, akibatnya impor kedelai tidak dapat dihindarkan," ujar Subejo.

Sehingga cukup wajar jika impor kedelai jauh lebih besar dibandingkan kemampuan  produksi nasional.

Berdasarkan data BPS tahun 2019, beberapa tahun terakhir kebutuhan kedelai nasional sebesar 3,4-3,6 juta ton per tahun.

Di sisi yang lain, kapasitas produksi kedelai paling tinggi hanya mendekati 1 juta ton. 

Dengan kondisi tersebut maka setiap tahun diperlukan impor sebanyak 2,4-2,6 juta ton. Bahkan, pada tahun 2017 total impor kedelai mencapai 2,67 juta ton yang bernilai US$ 1,15 miliar dimana 2,63 juta ton berasal dari Amerika serikat.

“Rendahnya kapasitas produksi kedelai ini dapat dilihat dari data BPS pada 2019, dan dalam 5 tahun terkahir produksi tertinggi kedelai tahun 2016 dan 2017 sebesar  859.653 ton dan 538.728 ton, pada tahun 2018  mengalami kenaikan menjadi 982.528 ton," jelas Dosen Fakultas Pertanian dan Sekolah Pascasarjana UGM itu.

Melansir pendapat Terzis Dragan dkk (2018) memperlihatkan rerata produktivitas kedelai tertinggi di dunia yaitu Amerika (3,1 ton/ha), disusul Oceania dan Eropa sebesar 2,14  ton/ha dan 2,08 ton/ha.

Sementara rerata produktivitas kedelai di negara Asia hanya mencapai 1,45 ton/ha, dan data BPS tahun 2019 melaporkan produktivitas kedelai Indonesia sepanjang 2005-2015 hanya berkisar 1,3-1,5 ton/ha.

Karena itu, kata Subejo, diperlukan terobosan untuk menekan impor kedelai secara signifikan dan menjaga stabilitas harga.

Diperlukan program strategis melalui penguatan inovasi produksi.

“Inovasi pemuliaan  benih kedelai yang produktif, adaptif terhadap perubahan iklim dan memilki citra rasa baik sangat urgen dilakukan," urainya.

Salah satu inovasi yang dihasilkan oleh UGM dan perlu dikembangkan adalah benih kedelai hitam Mallika.

Menurut Subejo, benih kedelai hitam Mallika ini cukup prospektif karena memiliki produktivitas tinggi, adaptif terhadap kekurangan air dan sesuai untuk daratan rendah dan sedang.

Bisa juga melalui inovasi UGM yang lain terkait dengan peningkatan produktivitas kedelai yaitu mikoriza.

Melalui mikoriza dapat meningkatkan eksplorasi perakaran sampai ratusan kali volumenya sehingga penyerapan air dan nutrisi menjadi lebih baik yang membuat tanaman kedelai menjadi lebih subur.

“Selama ini harga kedelai lokal kurang atraktif bagi petani sehingga budi daya kedelai tidak menjadi prioritas karena tingginya kompetisi dengan komoditas pertanian yang lebih menguntungkan. Alternatifnya lakukan budi daya kedelai dengan  memanfaatkan lahan perhutanan sosial serta pengembangan komoditas subtitusi kedelai," paparnya.

Sebagai pengamat pertanian, ia mengusulkan inovasi pengembangan berbagai jenis kacang koro.

Kacang yang telah diinisiasi sebagai subtitusi kacang kedelai, namun cita rasa dan kekhasan olahan tempe dan tahu berbahan kedelai dipandang berbeda dibandingkan olahan dari bahan substitusi.

“Isu perubahan taste dan pereferensi konsumen inipun juga menjadi hal yang tidak mudah,"ucapnya.

Subejo sangat berharap program insentif dari pemerintah untuk mendorong minat petani mengembangkan komoditas kedelai sehingga kapasitas produksi nasional meningkat.

"Program insentif ini sangat diperlukan dan dapat dikembangkan melalui pemberian subsidi harga, subsidi sarana produksi, pengadaan alat mesin dan introduksi tata niaga kedelai yang baik dan efisien serta penyuluhan dan pendampingan petani yang efektif," imbuhnya.***

Editor: Rama Prasetyo Winoto

Sumber: UGM


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x