Pemberantasan Korupsi di Inggris Butuh Waktu 150 Tahun Dengan 4 Cara

27 Februari 2021, 17:29 WIB
Parlemen Inggris di Westminster Palace. / Alvesgaspar/ Wikimedia Commons /

Lensa Banyumas - Pemberantasan korupsi di Inggris membutuhkan waktu 150 tahun.

Pada abad ke-18, Inggris dihantui dua ketakutan yaitu kehancuran sistem finansial dan kekalahan militer.

Ketakutan itu menjadi motivasi utama untuk mengatasi korupsi yang sudah lama terendus karena menyangkut keselamatan negara. Dan Inggris berhasil mengatasinya.

Baca Juga: Sejarah Singkat Stasiun Tanjung Priok

“Obat paling manjur memberantas korupsi adalah ketakutan atas keadaan yang mendesak,” kata sejarawan Peter Carey yang dikutip Lensa Banyumas-Pikiran Rakyat.com dari historia.id.

Hal itu, kata Peter Carey, seperti ucapan Mahatma Gandhi: “Orang jarang menjadi baik hanya demi kebaikan itu sendiri, mereka menjadi baik karena keadaan mengharuskan.”

“Inggris butuh 150 tahun untuk menangani korupsi,” ungkap Peter Carey.

Peter menjelaskan Inggris menempuh empat cara untuk menanggulangi korupsi.

Pertama, mendorong kemitraan pemerintah dengan publik-swasta. Misalnya, antara pemerintah dan proyek yang awalnya dimiliki swasta, seperti bea dan cukai.

Meskipun diambil alih pemerintah, lembaga itu tetap dikelola seperti perusahaan swasta.

Dalam konteks korupsi, hal. ini dinilai penting karena lembaga fiskal dan keuangan swasta bisa menetapkan sendiri standar pemasukan melalui pemeriksaan dan tingkat imbalan yang kompetitif.

Di lembaga bea dan cukai, petugas dikenai kontrol ketat. Mereka tidak diizinkan bekerja di tempat yang di dalamnya terdapat koneksi, seperti keluarga.

Mereka juga bisa diberhentikan karena pelanggaran kecil.

“Bea dan cukai masih tetap dikelola sebagai suatu perusahaan swasta dengan etik dan profesionalisme tinggi,” katanya. 

Kedua, mendirikan sebuah komisi khusus parlemen untuk memeriksa laporan keuangan negara. Komisi ini dipilih oleh anggota parlemen dari dua partai besar, Tory dan Whig, untuk pertama kali pada tahun 1691.

Pembentukan komisi ini adalah pengaturan baru fiskal dan keuangan setelah penobatan Raja William (1689-1702) memberi wewenang lebih luas kepada parlemen untuk mengawasi belanja dan neraca departemen keuangan.

Komisi kecil yang hanya beranggotakan tujuh sampai sembilan orang itu, berhak memanggil menteri dan pejabat seniornya untuk memeriksa laporan keuangan mereka.

"Antara tahun 1691 dan 1697, mereka berhasil membongkar kasus-kasus penyelewengan uang negara. Pemerintah Inggris pada 1690-an pun menjadi takut dan mencoba menghalangi kelanjutannya," ujarnya. 

Ketiga, kata Carey, yaitu meningkatkan upah pegawai negeri sipil, termasuk hakim pengadilan pada tahun 1645.

Gaji hakim senior dinaikkan 500 persen menjadi seribu poundsterling per tahun atau setara Rp. 3,3 miliar.

Setelah dinaikkan, pemerintah melarangnya menerima penghasilan tambahan, keuntungan, atau hadiah lain secara langsung maupun lewat staf mereka. Hal ini untuk mencegah malpraktik hukum dan meringankan ongkos penggugat.

“Ada juga revolusi mental. Ini harus,” tegas Peter Carey. 

Revolusi mental di Inggris pada abad 18 didasarkan atas dua perkembangan baru, yaitu pengaruh Protestan dan filsafat utilitarianisme atau kebahagian terbesar dari sebanyak mungkin orang.

Peter mencatat bahwa kepercayaan atas Injil memicu sebuah moralitas di tengah pemerintahan. Hal itu didasarkan atas kejujuran, integritas, dan tradisi patriarkal, yang membuahkan semacam kebanggaan nasional dalam melaksanakan tugas politik dengan jujur dan saksama.

Sementara utilitarianisme dipopulerkan filsuf sosio-ekonomi Inggris dan ahli hukum, Jeremy Bentham dan adiknya, Samuel Bentham, insinyur militer dan arsitek kapal perang.

Doktrin ini dititikberatkan kepada unsur sifat hemat, efisiensi, kebersahajaan, dan integritas di bidang pemerintahan, terutama di bidang keuangan negara dan militer.

"Cara keempat tersebut menjadi faktor terpenting memberantas korupsi dalam sistem belanja negara. Revolusi mental dalam hal perubahan fundamental pemikiran umum dan budaya politik adalah keharusan," imbuhnya.***

Editor: Rama Prasetyo Winoto

Sumber: Historia.id

Tags

Terkini

Terpopuler