“Mispersepsi ini segera diluruskan oleh pemerintah,” ucap Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Dia menyarankan agar tidak terjadi hal semacam ini, setiap ada peraturan pemerintah perlu dilakukan pencermatan dan tingkat partisipasi publik.
Selain merevisi PP tersebut ia sepakat revisi UU No 20 tahun 2003 sebagai payung rujukan PP yang menjadi turunannya.
Apalagi UU sisdiknas hanya memuat nomenklatur Pendidikan Kewarganegaraan bukan pendidikan Pancasila.
Hal senada juga disampaikan oleh Mantan Rektor UGM, Prof. Sofian Effendi, yang mengungkapkan selama 18 tahun belakangan ini, sejak UU No 20 tahun 2003 itu telah menyebabkan dihapusnya pendidikan Pancasila sebagai mata pelajaran wajib.
“Banyak sekolah tidak lagi mengajarkan Pancasila. Akibatnya, hasil survei Alvara Research Group tahun 2018 menyebutkan sekitar 19 persen ASN yang menyatakan anti Pancasila. Bahkan, Menteri Pertahanan tahun 2019 menyebutkan 23,4 persen mahasiswa Indonesia terpapar radikalisme anti Pancasila dan UUD 1945,” ucapnya.
Soal revisi PP dan revisi UU Sisdiknas, Sofian Effendi mengingatkan pentingnya kampus untuk selalu memberikan masukan dan memberi kritikan ke pemerintah untuk kepentingan pendidikan nasional.
“Jika ada kesalahan kebijakan dari pemerintah kita, kampus harus menegur dan mengingatkan demi kepentingan nasional,” tandasnya.
Selain menjadikan pendidikan Pancasila tidak hanya menjadi mata pelajaran wajib di sekolah dan mata kuliah wajib di kampus, kajian teologis tentang pancasila menjadi filsafat keilmuan sangat mendesak dilakukan.
“Mudah-mudahan PSP UGM dan Fakultas Filsafat bisa mengarah ke sana. Yang diajarkan bukan saja teori-teori hukum, politik, ekonomi tapi teori itu berdasarkan dari sila Pancasila,” pungkas Sofian Effendi.