Penyusunan Inpres BPJS Sangat Gegabah, Fadli Zon: Tak Patut Karena Abaikan Banyak Aspek

- 27 Februari 2022, 15:30 WIB
Fadli Zon: penyusunan Inpres tentang BPJS dinilai gegabah.
Fadli Zon: penyusunan Inpres tentang BPJS dinilai gegabah. /instagram@fadlizon/

LENSA BANYUMAS - Politisi Gerindra Fadli Zon menyebut, penyusunan Inpres Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional sangat gegabah karena mengabaikan banyak aspek, mulai dari soal filosofi, keadilan, kepantasan, serta prinsip pelayanan publik itu sendiri.

Sebab, Inpres yang diteken pada tanggal 6 Januari itu menjadikan kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat wajib dalam mengurus sejumlah pelayanan publik.

Mulai dari SIM, STNK, SKCK, izin usaha, jual beli tanah, naik haji, umrah, hingga ke soal keimigrasian.

"Sy punya bbrp catatan kenapa Inpres tsb bisa dianggap kurang patut. Pertama, pelayanan kesehatan serta layanan publik lainnya, terutama yg bersifat dasar, pada prinsipnya adalah hak rakyat, yg seharusnya dilindungi oleh negara," tegas Fadli Zon.

Menurutnya, negara tak boleh memposisikan hak tersebut seolah-olah adalah kewajiban.

Baca Juga: Fadli Zon: Masa Menag Urusi Bunyi Toa Masjid, Haji dan Umrah Masih Ada Masalah Besar

"Apalagi, hak rakyat dlm satu bidang kehidupan, dlm hal ini kesehatan, kemudian hendak dijadikan penghalang bagi hak dalam bidang kehidupan lainnya. Dari sudut filosofi layanan publik, ini jelas keliru," jelasnya.

Berikutnya dari sisi tata peraturan perundang-undangan, Inpres itu kedudukannya tak bisa mengikat umum (semua orang, atau setiap orang).

Sebab kedudukan Inpres hanya bersifat mengikat ke dalam para pejabat pemerintah di bawah Presiden.

Selain itu, Inpres seharusnya tidak memasukkan muatan yang bersifat pengaturan di dalamnya dan sedapat mungkin tidak menimbulkan efek pengaturan terhadap masyarakat.

Itu karena katanya Presiden telah diberi kewenangan lain untuk menetapkan peraturan, yaitu berupa Peraturan Presiden.

Dengan demikian, Inpres bukanlah bagian dari peraturan perundangan atau peraturan kebijakan.

"Sehingga, jika Inpres No. 1 Tahun 2022 kemudian diterjemahkan menjadi peraturan-peraturan baru terkait BPJS, maka hal itu bukan hanya menyalahi prinsip penyusunan peraturan perundang-undangan, tapi bahkan bisa melangkahi kewenangan sebuah undang-undang," ungkapnya.

Menyinggung soal syarat administratif membuat SIM, sudah diatur dalam Pasal 81 Ayat (3) UU No. 22 th 2009 tentag Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Jelas disebutkan, syaratnya hanya KTP, mengisi formulir permohonan dan rumus sidik jari.

Karenanya menjadikan BPJS sebagai syarat baru, hanya denganbekal Inpres, tak cukup punya dasar.

"Ketiga, meskipun UU No. 24 Tahun 2011 tth Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mewajibkan semua orang untuk mendaftarkan diri dlm kepesertaan BPJS, mestinya Pemerintah menyelidiki terlebih dahulu knp orang tak mendaftar," lanjutnya.

Artinya kata Legislator ini, kendala sosiologis dan strukturalnya mestinya dipahami dan dibenahi terlebih dahulu.

"Inpres No. 1 Tahun 2022 jangan menjadi alat pemaksaan BPJS. Tugas pemerintah mencari tahu atau memahami kendala yg dihadapi masyarakat mengapa tak daftar BPJS. Jangan sampai masyarakat jadi kian antipati terhadap BPJS," tambah Fadli Zon.

Selanjutnya, Inpres tersebut katanya sangat tak adil bagi masyarakat. Di satu sisi masyarakat mau dipaksa menjadi peserta BPJS, namun sistem dan manfaat pelayanan BPJS sendiri masih kerap berubah-ubah.

"Kita ingat, pada Oktober 2019 lalu Presiden @jokowi pernah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2019 yg mengatur kenaikan iuran BPJS Kelas I dari semula Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu per bulan;" tuturnya.

Kelas II dari semula Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu per bulan, dan Kelas III dari semula Rp25.500 menjadi Rp42 ribu per bulan.

Namun, pada bulan April 2020, Perpres itu dinyatakan tidak berlaku, sehingga besaran iuran BPJS kembali menjadi seperti yang diatur oleh Perpres No. 82 Tahun 2018, yaitu tarif sebelum kenaikan itu terjadi.

Anehnya, pada Mei 2020, Presiden kembali mengeluarkan Perpres No. 64 Tahun 2020, yang merevisi kembali iuran BPJS Kesehatan yang berlaku mulai 1 Juli 2020, dimana iuran Kelas I ditetapkan jadi Rp150 ribu; Kelas II Rp100 ribu; dan Kelas III Rp42 ribu.

"Bongkar pasang regulasi hanya dalam hitungan bulan semacam itu tentu saja sangat membingungkan para peserta BPJS," ucapnya.

Yang terbaru, Pemerintah berencana menghapuskan kelas rawat inap BPJS, namun hingga saat ini peserta masih ditariki iuran berdasarkan kelas.

"Ini kan tidak adil bagi peserta yg membayar iuran lebih mahal. Bisa jadi peserta selama ini membayar iuran Kelas I, tetapi saat giliran mereka mengklaim manfaat, mereka hanya bisa mengklaim standar rawat inap yang saat ini sebenarnya milik Kelas II," kata Fadli Zon.

Dalam sepuluh tahun terakhir dirinya melihat tata kelola BPJS ini memang masih bersifat bongkar pasang dan amatiran.

Di satu sisi dari aspek iuran ingin dimaksimisasi, namun aspek manfaatnya justru terus-menerus dikoreksi.

"Jika cara kerja Pemerintah seperti itu, bagaimana orang akan tertarik menjadi peserta?," katanyam

Poin lain yang menurutnya juga tidak adil adalah terkait buruh migran. Inpres No. 1 Tahun 2022 mewajibkan buruh migran untuk menjadi peserta aktif BPJS selama berada di luar negeri.

"Ini kan aneh. Di satu sisi buruh migran wajib menjadi peserta BPJS, tpi layanan BPJS tak bisa menjangkau mereka," ungkapnya.

"Apa artinya? Sy melihat, Inpres ini dikeluarkan semata-mata hanya untuk mengejar dan mengumpulkan dana publik sebanyak-banyaknya,"

Mulai dari isu dana JHT (Jaminan Hari Tua) di BPJS Ketenagakerjaan, hingga syarat kepesertaan BPJS Kesehatan dalam Inpres No. 1 Tahun 2022, isu pokoknya sebenarnya bukanlah untuk melindungi dan menjamin hak-hak masyarakat.

Namun kata Fadli Zon, melainkan negara sedang menjadikan rakyatnya sebagai sapi perah untuk menjaga kesetimbangan moneter dan fiskal Pemerintah.***

Editor: Ady Purwadi

Sumber: Twitter@fadlizon


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

x