Kalimat Bhineka Tunggal Ika bukan dari Bahasa Sansekerta,

3 Juni 2021, 07:00 WIB
Bhineka Tunggal Ika yang ada dalam lambang negaran Indonesia. /Tangkapan layar./

LENSA BANYUMAS - Kata siapa itu bahasa Sansekerta? Coba saja tanya langsung sama orang-orang India, dijamin siapapun pasti nggak ada yang tahu apa artinya "Bhinneka Tunggal Ika", karena memang itu bukan bukan bahasa Sansekerta.

Dikutip Lensa Banyuma dari akun Jamda Yuwono, berdasarkan sejarah, "Bhinneka Tunggal Ika" dalam lambang negara Indonesia, Semboyan negara ini dikutip dari Kakawin Sutasoma, sebuah syair kakawin berbahasa Jawa Kuno yang ditulis oleh Mpu Tantular pada masa Majapahit.

Frasa bhinneka tunggal ika muncul dalam pupuh 139, bait 5: Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Terjemahan bahasa Inggrisnya versi Soewito Santoso dari Wikipedia:

It is said that the well-known Buddha and Shiva are two different substances.They are indeed different, yet how is it possible to recognise their difference in a glance, since the truth of Jina (Buddha) and the truth of Shiva is one. They are indeed different, but they are of the same kind, as there is no duality in Truth.

Perlu diketahui bahwa kata bhinneka di sini sebetulnya terdiri dari dua komponen, yaitu bhinna dan ika. Bhinna sendiri memang merupakan serapan dari bahasa Sansekerta (bhinna yang artinya berbeda, terbagi, terpisah), tapi baik tunggal maupun ika merupakan kata asli Jawa. 

Tunggal, tentu kita semua tahu artinya adalah 'satu'. Sementara ika merupakan kata tunjuk dan kadang juga digunakan sebagai kata ganti orang ketiga, serupa iki dan iku yang masih lazim digunakan dalam bahasa Jawa Modern (ika sebetulnya juga bertahan sebagai komponen dalam kata tunjuk punika).

Dalam bahasa Jawa Kuno, vokal lintas morfem seringkali dilebur menjadi satu, makanya penggabungan bhinna dan ika  menjadi bhinneka.

Makna asli keseluruhan frasa bhinneka tunggal ika kira-kira adalah "yang (kamu kira) berbeda itu, mereka (sebetulnya) satu".

Konteksnya di sini adalah ajaran Buddha dan Siwa, yang masing-masing pengikutnya hidup berdampingan pada masa Majapahit.

Tentang "mengapa"-nya, seingat saya yang mengusulkan semboyan ini adalah Mohammad Yamin, yang, seperti kita semua ketahui, merupakan fanboy Gajah Mada dan pengagum Majapahit kelas berat.

Dalam hal ini, sangat wajar kalau Yamin mengutip sebuah karya dari masa Majapahit untuk menjadi semboyan bangsa Indonesia modern. Kebetulan saja karyanya berbahasa Jawa Kuna.

Memang Yamin juga mengintegrasikan narasi kebesaran negeri Melayu seperti Sriwijaya dalam konsep keindonesiaannya.

Tapi masalahnya, warisan sastra dan budaya Sriwijaya tidak bertahan hingga masa modern, berbeda dengan tradisi sastra Jawa Majapahit yang masih lestari di masyarakat Hindu Bali.

Tebakan saya, kalau misalkan Yamin menemukan karya sastra agung Melayu Kuna yang lebih tua dari Sutasoma, ada kemungkinan dia akan mengutip dari situ ketimbang dari Sutasoma. Tapi ini spekulasi saja.,"katanya.***

Editor: Cokie Sutrisno

Tags

Terkini

Terpopuler